Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome: Episode Apel di Kota Batu

31 Mei 2024   23:57 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:17 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suatu pemandnagan di Kota Batu-Foto:Irvan Sjafari

Kayutangan, Malang, 8 September 2023

Kereta Api Jayabaya tiba di Stasiun Malang Jumat Pagi 8 September 2023, setelah menempuh perjalanan lebih dari dua belas jam dari Stasiun Senen.  Aku segera melangkah keluar  membawa dua tas daypack dan tukang becak setempat berebut menawarkan jasa.  Tetapi saya memutuskan sarapan nasi  dulu, sebelum menuju Guest House di kawasan Kayutangan yang sudah aku pesan berapa hari yang lalu.  

Akhirnya aku menggunakan becak, karena aku sudah lupa jalan ke Kayutangan dari stasiun.  Aku pertama kali ke Malang Desember 1994 jalan kaki untuk mendapatkan hotel murah di Jodipan atas informasi rekan jurnalis aku di Majalah Sinar. Waktu itu belum ada internet hingga informasi dari mulut ke mulut.

Sebetulnya bukan karena desakan"R" yang sudah jadi psikolog informalku  dan  Rhyma, kawan ku di Bandung agar aku menyelesaikan masalah dengan Cah Ayu di Kota Batu.  "Nggak ada itu persoalan asmara diselesaikan lewat chat ataupun video call. Teknologi canggih bukan solusi untuk masalah hati malah sering menipu, soalnya kita nggak bisa melihat gestur tubuh dan ekspresi," ujar "R" pada Mei 2023 lalu.

Pada Desember 1994 aku juga cuti dari pekerjaan di majalahku karena penasaran atas data yang didapat dari Perpustakaan Nasional tentang toko kelontong di Kota Malang yang bisa bertahan lebih dari 50 tahun.  Aku mendapatkan lebih dari lima toko masih utuhdan pemiliknya masih hidup.  Sekalian aku ingin tahu apa yang terjadi pada toko-toko itu apakah menjadi korban perubahan zaman.

Naik becak mengantarkanku ke Kayutangan  melalui Alun-alun Malang yang lebih cantik dibanding yang aku lihat pada 1994.  Aku bersyukur bangunan bersejarah di sebelah Hotel Pelangi, yang zaman Belanda bernama Hotel Palace tidak dirombak atau digusur.  Yang luar biasa pedestrian Kayutangan lebih rapi dan berapa toko masih sepi, ketika aku harus berjalan kaki ke tempat hotel di perempatan dekat gereja bersejarah.

Lewat chat, Steven, sang karyawan guest house memberitahu lokasinya dan akhirnya aku tiba.  Bagi aku tinggal di penginapan backpacker lebih asyik karena bisa mendapat kenalan wisatawan seperti pernah aku alami di Bandung. Aku sekamar dengan seorang Mesir bernama Ahmad yang katanya ingin berkeliling Jawa Timur.

Konsep backpacker ialah satu kamar ada dua tempat tidur bertingkat yang bisa dihuni empat orang mirip tinggal di asrama.  Ini yang menyenangkan, terutama bagi yang sendiri. Waktu aku ke Malang, Desember 1994, aku tidak kenal konsep ini sekalipun prinsipnya sama hotel hanya untuk tidur.

Setelah istirahat sebentar, aku mencari masjid untuk salat Jumat ternyata telat. Baru tahu di Malang lebih awal dibanding Jakarta. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari Kayutangan Heritage yang sudah aku susur lewat internet.  Aku senang gerakan seperti ini membuat wisata sejarah menjadi menarik.

Aku bersama tiga orang pengunjung lainnya pergi ke dalam lokasi dan mendapatkan informasi bangunan bersejarah di Malang ada yang berupa rumah.  Aku mampir di sebuah rumah yang pemilik menawarkan jasa makan siang. Sebetulnya juga homestay tetapi kemudian ditutup, baru kemudian berkeliling.

Di sana ada seorang mahasiswi yang juga ikut makan. "Bapak dari Jakarta?" tanyanya.

Bapak? Ya, wajarlah. Dia usianya mungkin baru 18-19 tahun.

"Iya, tetapi aku nggak keliling Malang, besok mau ke Batu ada perkara pribadi sekalipun ingin tahu bagaimana persoalan sampah dan kalau sempat ke lahan apel yang kabarnya terancam perubahan iklim," tutur aku.

"Wah, Bapak dari Teknik Lingkungan?"

"Jurnalis, bidangnya lingkungan hidup. Tetapi aku dari sejarah, ingin menulis sejarah juga," jawab aku.

"Ayah aku dari Teknik Lingkungan, aku kuliah di Pertanian dan soal apel memang menarik.  Aku juga baca berapa penelitian tentang perubahan iklim yang membuat lahan apel harus pindah ke tempat lebih tinggi. Tetapi ada yang bilang karena soal lain seperti peremajaan," tutur dara berhijab dan berkacamata itu.

"Selain soal lingkungan buat miris, kok bisa-bisanya apel Malang lebih mahal daripada apel import," kataku. "Ada masalah didistribusi yang mahal."

"Sudah jadi petani apel sekarang. Kakekku dulu salah satu petani apel di daerah Batu 1950-an dan sempat jaya ketika apel jadi ikon," katanya. 

Dia hanya menyebut namanya Siwi dan aku tidak mengejarnya kuliah di Pertanian mana.  Aku hanya fokus pada Cah Ayu, yang harus selesai di ekspedisi ini.  Lagipula kami ngobrol sebentar aku kembali ke guest house karena belum tidur sejak dari kereta.

Di mana Studio Malang di Kayutangan ini? Aku tak melihatnya dalam kunjungan kali ini. Pada 1994 aku menemui pemiliknya seorang Bapak peranakan Tionghoa yang memang memiliki toko itu sejak masa Belanda.  Kayutangan adalah daerah bisnis dan protocol pada masa kolonial.

Toko Oen sebelum 1930 adalah sebuah toko kelontong, milik orang Amerika namun kalah bersaing dengan Onderling Belang.  Seingat aku dalam catatan ada toko kacamata Goldberg, yang juga ada di daerah Braga Bandung.  Ada satu atau dua tokoh milik pribadi seperti toko milik Haji Hasyim. Namun kebanyakan usaha milik muslim ada di Kauman.

Malam aku menonton pertunjukkan bantengan di daerah Kayutangan. Kesenian campuran silat dan musik dengan orang memakai topeng kerbau, harimau dan kera.  Entah aslinya di Batu seperti apa, tetapi kalau yang aku saksikan di Kayutangan mereka memakai lagu Ande-ande Lumut.

Ketika menonton acara aku bertemu lagi dengan Siwi. Rupanya dia menginap di rumah seorang kawannya, katanya tinggal di Oro-oro Dowo.  Namun dia hanya menganggukan kepala dan aku tidak tertarik untuk mengajak bercakap-cakap.  Aku tidak mau gede rasa atau baper istilah anak gaul tetapi aku melihat matanya terus mengawasi aku.  Kemudian dia membuka ponselnya dan mengetik sesuatu.

 

Malang- Singosari 1915

"Mas, jangan tinggalkan kami," perempuan  ayu berkulit hitam manis itu memegang tangan laki-laki itu.  Sementara bocah laki-laki berusia 5 tahun itu menitik air melihat kepergian laki-laki meninggalkan rumah bambu itu.  Dia hanya berhenti sebentar melihat ke belakang, menatap wajah perempuan ayu itu dan bocah itu.

"Bapak!" teriak bocah itu.

"Mas, Aku tak bisa meninggalkan Ibu yang sakit di kamar sebelah.  Aku nggak mau kehilangan Ibu, setelah kehilangan Bapak."

"Ciri-ciri penyakit Ibumu sama seperti Bapakmu yang meninggal tiga tahun lalu di Desa Batu. Ada bisul-ibul di ketiak dan pangkal pahanya. Badannya panas. Orang menguburkannya juga meninggal cara yang sama. Lalu Kepala Desamu tidak melapor ke Meneer Vogel."

"Mereka akan bakar rumah-rumah di desa ini dan mengusir kita seperti terjadi  pada keluargaku di desa Temengungan," sengit perempuan ayu itu.

Tetapi lelaki itu  terus berlalu dengan wajah ketakutan.   Dia hanya membawa pakaian yang melekat di badan. Sebagai seorang jurnalis yang bekerja di koran Belanda laki-laki itu tahu apa yang dihadapi warga desa itu.  Tinggal menunggu waktu saja bendera merah berkibar di batas desa.

Namun begitu sampai di Kota Malang, lelaki itu langsung melapor ke Hospital Militair di sana.  Dia langsung diperiksa. Dokter yang memeriksa mengangguk  bahwa dia sehat.

"Kamu boleh pergi ke Surabaya, Meneer Hans, Redaktur kamu orang sudah saya telepon dia akan jemput kamu di Stasiun Malang."

"Lalu istri dan anak saya?"

"Mereka terpaksa dikarantina di rumah mereka. Desa itu akan diberi status bendera merah.  Tentara sudah ke sana membuat barikade tidak ada boleh keluar masuk."

"Aku sudah kasih pengertian, rumah-rumah itu dibongkar dan dibakar agar tidak jadi sarang tikus."

Aku segera bergegas menuju Stasiun Malang, Hans atasanku yang sudah seperti saudara sendiri memelukku.

"Ikut prihatin pada keluarga istrimu," katanya. "Tapi hidup harus berjalan."

Kereta pun berjalan meninggalkan Kota Malang, setelah aku divaksin.  Aku tidak menyangka wabah ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Londo pun tidak merayakan tahun baru 1915.  Orang Jawa menyebutnya sebagai pagebluk.

 

Ngaglik, Batu, 9 September 2023

Mimpi buruk yang berulang tentang wabah itu. Kadang tikus-tikus berkeliaran di sekitar tempat tidurku dan di bawah tempat tidur menyembur darah.  

Kadang wajah seorang bocah tergeletak di kasur dengan ketiak kehitaman tak berdaya dan perempuan ayu dengan sinar mata merah menatapku di rumah bambu itu. "Mana sumpah setia kamu dulu pada kami!"teriaknya.

Aku bergidik ketika ke Perpustakaan Nasional riset tentang wabah itu melihat wajah bocah yang sama di sebuah buku berbhasa Belanda.   

Aku sendiri mimpi tentang wabah itu sejak masih kecil. Tadinya aku kira karena membaca sebuah tulisan di buku kesehatan di kelas 6 SD.  Namun aku khawatir bukan karena itu phobianya. Namun mimpi itu sering hilang dan muncul lagi.

"Ada dua kemungkinan, kata seorang kawanku. Alasan rasional karena bacaan. Kedua, reinkarnasi. Kemungkinan luh pernah tinggal di

Malang di masa lalu. Jika itu reinkarnasi, bocah itu bisa jadi anakmu dan perempuan itu istrimu atau luh yang bocah itu dan perempuan itu ibumu.  Itu kalau luh percaya reinkarnasi," tuturnya. "Tapi bisa juga di Jawa Tengah, kan rumah desanya sama?"

"Malang, pemandangan gunung di belakang kotanya yang aku lihat di foto arsip, nggak seperti Bandung atau Bogor," jawabku. Demikian percakapan di Perpustakaan Nasional.

Aku menaiki angkot minibus itu dari Terminal Landungsari  ke Terminal Kota Batu sesuai informasi dari petugas hotel. Aku harus tiba sebelum pukul sembilan untuk memenuhi janji dengan anaknya Cah Ayu.

"Bapak ke Batu pagi ini ?" terdengar suara perempuan dari belakang. Siwi, bersama seorang kawannya.

"Kamu juga?" tanyaku.

"Iya, kami mendadak ingin ke Songgoriti," jawabnya.

Berarti tiga kali ketemu dia.  Kami berpisah di Terminal Batu, aku terus ke Ngaglik untuk menaruh barang di Guest House Algeria, lalu ke alun-alun dan menepati janji.  Namun hari itu aku jalan sama anaknya yang berusia belasan tahun, sementara Cah Ayu menjaga ibunya.  Setelah jalan-jalan baru antar ke rumahnya mengajak makan bersama di rumah makan dengan menu Jawa Timur. Sudah tidak omong apa-apa. Waktunya belum tepat.

 

Sebuah Rumah di Surabaya 1915

Tiba-tiba perempuan ayu itu tiba di tepi tempat tidur lelaki itu bersama bocah itu.  Keduanya pucat dan menatapku dengan mata merah menyala. "Kalau kamu mau melepas kami bilang baik-baik!" mereka geram dan tiba-tiba tikus-tikus mati di sekitar  tempat tidur laki-laki itu hingga terjaga dari mimpinya.

"Desa istrimu sudah dikibarkan bendera merah. Belum ada yang berani masuk.  Ketika malam menyeramkan. Makanya sudah aku bilang jangan menikah dengan perempuan dari negeri lain," kata seorang pria.

"Aku mencintai dia Abang. Mencintainya sampai nafas terakhir tetapi dia tidak mau meninggalkan kampungnya dan ikut aku  tinggal di Batavia atau di Bandung," jawab laki-laki itu. "Abang seperti saudaraku yang lain tidak suka aku menikah dengan perempuan di Tanah Jawa."

"Ala, yang sudah-sudah laki-laki dari negeri kita kalau menikah dengan perempuan dari negeri lain lupa kampungnya. Kamu tidak mau menengok kampung."

Laki-laki itu kemudian melihat seorang pemuda di balkon.  Dia tampaknya menunggu laki-laki itu dan mengenalnya.  Lalu laki-laki itu turun.

"Istri dan anakmu sakit, Jenengan bagaimana sih?" ucapnya kemudian berlalu.

Laki-laki itu termenung sejenak.  Tiba-tiba dia pergi menyambar tas berisi pakaian.

"Hei, mau kemana kamu?"

"Memenuhi sumpahku!" jawab laki-laki itu.

Laki-laki itu tiba di Stasiun Malang dan kemudian naik dokar ke Singosari yang masih belum berbendera merah. Dengan wajah sendu dia mengendap memasuki  desa  yang telah ditinggalkannya yang sudah dipasang bendera merah, ketika hari sudah mulai gelap.  

Dia bisa menghindari penjaga. Di kegelapan dia mengenali  rumahnya dan air matanya tumpah melihat perempuan ayu itu terbujur kaku di tempat tidur bersama bocah itu dan dia memilih tidur  di antara mereka walau tahu risikonya.

"Maafkan aku. Jika kita bertemu lagi di kehidupan mendatang aku mengerti kalau kamu tidak menerimaku."

Lalu laki-laki itu memeluk perempuan itu.

 

Batu, 10 September 2023

Aku duduk di samping Cah Ayu sepulang kami dari sebuah lokasi air terjun. Sebuah perjalanan menggunakan ojek yang berliku dan melalui jalan setapak yang di sisinya ada jurang yang dalam.  Bocah itu hanya tertawa melihat kami.

"Aku sayang pada kamu dan bocah itu," ucapku.

"Aku hanya anggap kamu sebagai sahabatku,seperti teman seangkatanku waktu kuliah, " katanya. Rupanya bukan aku sendiri.  

Dia menolak rupanya.  Sudahlah.  Aku lega, karena sudah menyelesaikan suatu persoalan. Aku bisa pulang ke Malang sore ini.   

Namun aku masih semalam lagi di Batu karena guest house di Malang penuh. Lagipula seorang aktivis lingkungan mengajakku aku bertemu besok pagi untuk memberikan informasi soal mata air di Kota Batu.

Sorenya aku makan Tahu Campur, kuliner Jawa timur yang aku cari-cari di dekat Guest House dan malamnya makan di warung ayam pecel.  Aku terkesima melihat panorama Kota Batu, seperti Bandung 1970-an masih asri, dengan latar belakang pegunungan. Udaranya cukup dingin.

Aku terkejut ternyata Siwi dan temannya ada di sana makan.

"Bapak ternyata menginap di sini, sudah keliling ke mana saja?" tanyanya.

"Ya, Jatim Park, Coban Kaca, harusnya ke kawasan Apel, tetapi waktunya sempit," jawab aku.

"Kami dari sana," kemudian Siwi memberikan sebuah apel kepadaku. Ini untuk Abang.  Benar Bang ceritakan petani apel di sini punya banyak masalah. Aku tadi beli banyak untuk oleh-oleh sepupu di Bandung lagi mencoba membuat manisan atau selai," ungkap Siwi.

Kok berubah memanggil aku Abang, tidak lagi Bapak, sewaktu di Malang.

Setelah makan dan mengobrol sebentar aku pulang ke hotel dan kembali tidak mengejar siapa itu Siwi.  Aku tidak mau menambah masalah itu lagi.

 

Singosari,Malang,  1915

"Bapak, bangun!" bocah itu mengguncangkan laki-laki itu.  Perempuan ayu itu sudah berdiri dan mengajak laki-laki itu berdiri dan memberikan handuk.

"Kamu mandi dulu, Mas. Bapak dan Ibu sudah menunggu di meja makan.  Kita sarapan bareng!"

 "Kamu marah sama aku?" tanya laki-laki itu. "Aku ninggalin kamu, maafkan aku," kata laki-laki itu berlutut.

"Marah Opo," kata perempuan ayu itu. "Kamu tidak meninggalkan kami, kok! Sudah mandi sana!"

"Ntar malam nonton pertunjukkan bantengan di desa. Semua warga hadir. Aku main loh,"

Laki-laki itu mengangguk. "Aku berjanji tidak lagi meninggalkan kalian!"

"Omong Opo, Kamu, Mas!"

Malam itu desa ramai dengan pertunjukan seni diterangi obor. Lelaki itu duduk menyaksikan pertunjukkan di sebelah perempuan ayu itu.

Di luar desa seorang dokter Belanda, Hans menyaksikan dari jauh desa yang sepi.

"Dia seharusnya selamat.  Tim Dinas Pes menemukan jenazahnya di antara istri dan anaknya," kata seorang petugas.

Hans menyaksikan desa itu dengan penuh haru. "Dia dikuburkan bersama keluarganya, kan?"

Dokter itu mengangguk menyeka air matanya. "Aku memerintahkannya demikian, tentunya dengan pengamanan."

"Desa itu seram meneer malam, seperti suara kesenian dan keramaian," kata salah seorang petugas pes.

"Tahayul! Mana ada setan," kata dokter itu.  "Ayo kita pulang, You masih mau di sini!"

Hans mengangguk. Dia  tetap memenuhi peraturan di pos jaga.   Militer memakluminya. "Aku melihat kamu kawan sama anak dan istrimu. Aku bisa melihat kalian dan penduduk desa bergembira dengan damai. Maafkan kami lalai menjaga kalian Wahai Anak Negeri!

Hans melihat laki-laki dan perempuan ayu melambai bersama anak mereka.  Dia pun melambai. "Selamat tinggal kawan!"

Serdadu Belanda itu geleng-geleng kepala karena mereka tidak melihat apa-apa. "Meneer Hans menganggap inlander itu bagai saudaranya. Kasihan!"

Stasiun Malang, 11 September 2023

Aku bertemu Doddie, seorang aktivis lingkungan sebelum meninggalkan Batu. Aku memujinya kotanya bersih setelah penutupan TPA Tlekung. Dia hanya tertawa. "Jenengan nggak tahu bagaimana orang Batu menyelesaikan masalah sampah."

Dia mentraktir aku makan soto dan mengantarkan aku ke halte untuk dapat bus langsung ke Malang.

Aku tiba di stasiun menjelang tengah hari. Setelah mengambil gambar dan membuat status WA aku segera memasuki stasiun untuk naik kereta Jayabaya menuju Jakarta.  Di ruang tunggu, tampak Siwi dan temannya duduk di sebelah aku.

"Bagaimana Abang sudah menyelesaikan misi?" katanya.

Dia  mulai terbiasa memanggil aku Abang tidak Bapak lagi seperti waktu pertama kenal di Malang.

Aku tertawa. "Kalian dikirim oleh Teteh "R" ya mengintai aku?"

Siwi mengangguk. "Kebetulan kami  ke Malang. Dia teman ibu aku. Naluri Abang tajam. Aku dan temanku juga ke Coban Kaca, bahkan sampai ke Coban Rais. Takut kalau Abang galau melewati daerah curam itu. Tetapi setelah naik ojek dan tidak jalan kaki, kami lega. Misi kami selesai."

Aku tertawa."Bagaimana kalau bisa mengintai?"

"Lah, Abang, mengumbar status WA, Instagram dan FB, bagaimana kami tidak tahu. Teteh yang mengajarkan kami cara melacak Abang," katanya.

 Aku tidak berminat melacak siapa dia. Aku tidak tahu terjadi di masa depan. Que Sera Sera, judul sebuah lagu.

Irvan Sjafari

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun