Di sana ada seorang mahasiswi yang juga ikut makan. "Bapak dari Jakarta?" tanyanya.
Bapak? Ya, wajarlah. Dia usianya mungkin baru 18-19 tahun.
"Iya, tetapi aku nggak keliling Malang, besok mau ke Batu ada perkara pribadi sekalipun ingin tahu bagaimana persoalan sampah dan kalau sempat ke lahan apel yang kabarnya terancam perubahan iklim," tutur aku.
"Wah, Bapak dari Teknik Lingkungan?"
"Jurnalis, bidangnya lingkungan hidup. Tetapi aku dari sejarah, ingin menulis sejarah juga," jawab aku.
"Ayah aku dari Teknik Lingkungan, aku kuliah di Pertanian dan soal apel memang menarik. Â Aku juga baca berapa penelitian tentang perubahan iklim yang membuat lahan apel harus pindah ke tempat lebih tinggi. Tetapi ada yang bilang karena soal lain seperti peremajaan," tutur dara berhijab dan berkacamata itu.
"Selain soal lingkungan buat miris, kok bisa-bisanya apel Malang lebih mahal daripada apel import," kataku. "Ada masalah didistribusi yang mahal."
"Sudah jadi petani apel sekarang. Kakekku dulu salah satu petani apel di daerah Batu 1950-an dan sempat jaya ketika apel jadi ikon," katanya.Â
Dia hanya menyebut namanya Siwi dan aku tidak mengejarnya kuliah di Pertanian mana. Â Aku hanya fokus pada Cah Ayu, yang harus selesai di ekspedisi ini. Â Lagipula kami ngobrol sebentar aku kembali ke guest house karena belum tidur sejak dari kereta.
Di mana Studio Malang di Kayutangan ini? Aku tak melihatnya dalam kunjungan kali ini. Pada 1994 aku menemui pemiliknya seorang Bapak peranakan Tionghoa yang memang memiliki toko itu sejak masa Belanda. Â Kayutangan adalah daerah bisnis dan protocol pada masa kolonial.
Toko Oen sebelum 1930 adalah sebuah toko kelontong, milik orang Amerika namun kalah bersaing dengan Onderling Belang. Â Seingat aku dalam catatan ada toko kacamata Goldberg, yang juga ada di daerah Braga Bandung. Â Ada satu atau dua tokoh milik pribadi seperti toko milik Haji Hasyim. Namun kebanyakan usaha milik muslim ada di Kauman.