Sebuah Rumah di Surabaya 1915
Tiba-tiba perempuan ayu itu tiba di tepi tempat tidur lelaki itu bersama bocah itu.  Keduanya pucat dan menatapku dengan mata merah menyala. "Kalau kamu mau melepas kami bilang baik-baik!" mereka geram dan tiba-tiba tikus-tikus mati di sekitar  tempat tidur laki-laki itu hingga terjaga dari mimpinya.
"Desa istrimu sudah dikibarkan bendera merah. Belum ada yang berani masuk. Â Ketika malam menyeramkan. Makanya sudah aku bilang jangan menikah dengan perempuan dari negeri lain," kata seorang pria.
"Aku mencintai dia Abang. Mencintainya sampai nafas terakhir tetapi dia tidak mau meninggalkan kampungnya dan ikut aku tinggal di Batavia atau di Bandung," jawab laki-laki itu. "Abang seperti saudaraku yang lain tidak suka aku menikah dengan perempuan di Tanah Jawa."
"Ala, yang sudah-sudah laki-laki dari negeri kita kalau menikah dengan perempuan dari negeri lain lupa kampungnya. Kamu tidak mau menengok kampung."
Laki-laki itu kemudian melihat seorang pemuda di balkon. Â Dia tampaknya menunggu laki-laki itu dan mengenalnya. Â Lalu laki-laki itu turun.
"Istri dan anakmu sakit, Jenengan bagaimana sih?" ucapnya kemudian berlalu.
Laki-laki itu termenung sejenak. Â Tiba-tiba dia pergi menyambar tas berisi pakaian.
"Hei, mau kemana kamu?"
"Memenuhi sumpahku!" jawab laki-laki itu.
Laki-laki itu tiba di Stasiun Malang dan kemudian naik dokar ke Singosari yang masih belum berbendera merah. Dengan wajah sendu dia mengendap memasuki  desa  yang telah ditinggalkannya yang sudah dipasang bendera merah, ketika hari sudah mulai gelap. Â