Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pageblug

7 Maret 2021   14:45 Diperbarui: 12 Maret 2021   16:01 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah balai-balai tergeletak bangkai dua atau tiga ekor tikus kelabu yang sedang hancur dimakan ratusan ulat dan lalat. Di atas lantai tanah , seorang laki-laki sebaya dengan perempuan itu bersandar di dinding hanya mengenakan kain sarung. Tubuhnya kaku dengan mulut menganga, masih mengalirkan darah segar.

"Dia meninggal berapa jam lalu," bisik saya pada Prapto. "Keduanya kena Long Pest!"

Tiba-tiba terdengar tangisan. Saya bergegas menuju ruangan sebelah, dapur rumah itu. Seorang bocah perempuan telanjang bulat duduk di lantai tanah sambil memegang piring kaleng yang sudah kosong. Di dekatnya terguling sebuah bakul nasi yang sudah kosong. Ya, Tuhan! Bocah itu masih hidup, Bahkan masih sehat, walau wajahnya pucat.

"Mau makan!" Dia berteriak sambil menangis. Wajahnya takut.

Lalu saya mendekati bocah itu. "Siapa namamu, Nduk?" Saya menggendongnya berlahan. Bocah itu tidak menjawab. Tetapi memeluk saya erat-erat. Piring kaleng itu dia lepaskan. Saya kira usianya tiga atau empat tahun. Dia hanya mengalunkan tembang dalam kata Jawa patah-patah. Pasrah. Dia tahu tak punya tempat berlindung, selain saya. Saya membawa bocah itu keluar bersama Prapto dari pintu dapur.

"Mulai sekarang, kamu jadi anakku yang Nduk!" bisik saya sambil meneteskan air mata dan membelai rambutnya.

"Anak itu kan harus dibawa ke kerantina dokter?" celetuk Yono tiba-iba.

"Lah, lalu dikumpulkan bersama orang-rang tertular di barak itu? Lalu dia mati?" Saya menjawab dengan dingin. "Saya dokter dan saya menyatakan anak itu sehat!"

Saya tahu persis apa yang disebut barak karantina itu, tempat kematian yang lain lagi jenisnya. Memang sedikit lebih menyenangkan dari gubuk celaka tadi, Tadi di tempat itu orang yang benar-benar sehat berkumpul dengan orang yang tadinya sehat, ternyata sakit. Mereka tertular dan mati semua.

"Modar Kowe!" terdengar suara pekik yang mengejutkan kami.

Rupanya kata-kata itu terlontar dari mulut seorang opas. Dia baru saja memukul seekor tikus kelabu dengan popor senapannya. Mahluk malang itu berkelit, walau berapa tulang tubuhnya sudah ada yang remuk. Dia masih mencicit-cicit , berlari ke sana dan ke mari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun