"Loh, kamu yang protes? Apa kamu tidak kasihan pada Ibu ini? Bagaimana kalau ini bagi Ibu kamu?" Suara saya menggelegar, ikut menandu Ibu itu ke barak Eropa.
Tapi Yono dan penjaga barak ketakutan menghalangi. Juga ada seorang Belanda. Dokter Bernard yang mengikuti dari mobil sudah tiba dan berupaya meyakini militer Belanda yang menjaga barak.
Kami bertengkar hebat. Rumah Sakit Militer di Celaket sudah penuh, yang di Sukun juga, korban wabah terlalu banyak di Kota Malang. Akhirnya pasien di bawah ke barak untuk Orang Timur Jauh yang ada sepuluhan orang. Masih ada tempat. Lalu saya memeriksa Ibu itu dengan sarung tangan dan memberikannya obat anti basil.
Dokter Bernard juga bekerja memeriksa barak demi barak. Militer penjaga memberi hormat kepada saya, karena tidak membedakan semua pasien dari ras mana pun. Tepatnya karena sedikit dokter yang berani menolong korban pes.
Lalu saya diminta ikut mobil dokter Bernard kembali ke Kota Malang. Dia sendiri yang menyupiri.
"Saya juga tidak mengerti dokter Soedjono, rumah sakit seharusnya bukan tempat penginapan yang bisa memilih-milih tamunya?" ujar Bernard.
Saya tidak menjawab. Bernard memang malu karena dokter Belanda tidak banyak yang berani sampai ke kampung seperti saya.
"Kamu mengingatkan saya pada dokter Cipto yang juga ikut memberantas pes di Malang. Apa yang kamu lakukan serupa dengan dia. Cipto kini di Solo, kabarnya ingin memberantas pes di tempat asalnya itu."
"Saya senang ada dokter lain. Lah, pes sudah sampai di Solo?"
"Iya. Bukan tidak mungkin ke Yogyakarta, Semarang, Demak, mungkin juga Batavia. Tuan-tuan itu menakutkan hal itu. Mereka tidak bisa menghentikan mobilisasi massa. Ini tahun keempat bukan? Entah sampai kapan," tutur dokter itu.
Habis Zuhur, saya baru kembali ke rumah. Bernard mau mengantarkan saya. Prapto sudah menunggu.