Seorang perempuan berumur belasan tahun menahan sakit. Air ketuban sudah pecah. Di situ ada seorang bidan juga dan saya langsung memberi petunjuk pada bidan dan ibu itu.
Saya sendiri mengeluarkan sarung tangan membantu. Bayi itu lahir dengan tangisan, bertepatan dengan azan Azar. Setelah membereskan ari-ari saya membantu bidan itu melap dengan handuk yang dibasahi air hangat yang di baskom, mengeringkannya dengan handuk kering bersih dan membungkusnya dengan kain bersih yang sudah tersedia. Saya bersyukur bidan itu juga pengalaman.
"Bayi perempuan. Ayu," kata saya sambil memberikannya pada ibunya.
Haji Rahim tampaknya lega. "Terima kasih dokter! Terima kasih Bu Bidan!"
"Bayinya sehat. Mau dikasih nama siapa?"
"Ayu, Ayu Asriwati, seperti yang dokter ucapkan!" jawab dia.
Rahim lalu melakukan azan di telinga bayi itu dan saya menyaksikannya dengan haru. Bayi itu masih menangis. Tangisan kelahiran pertamanya di dunia. Wajahnya ceria memancarkan cahaya asa. Sang Ibu mendekapnya dengan menyusuinya untuk pertama kali dengan cinta kasih.
Malang, 1 April 1914 resmi jadi kotapraja di tengah musim pageblug. Mudah-mudahan kelahiran Ayu dan perjumpaan saya dengan Rini memberi harapan baru bagi kota yang saya tercinta. Mudah-mudahan pageblug berlalu.
Irvan Sjafari
*dikutip dari Tjahaja Timoer 2 dan 9 Januari 1914
Cerita ini aslinya ditulis pertama kali pada 1995, belum pernah dipublikasi.