Harus diakui kutu-kutu itu mahluk menjengkelkan yang rajin tak kenal lelah, Mereka mampu meloncat sejauh lima meter mencari inang barunya, kalau inang tikusnya mati. Siapa lagi kalau bukan manusia. Kalau kutu-kutu itu membawa basil bersiaplah. Begitu gejala muncul, pagi hari, maka sore hari pasien itu bisa meninggal bila pertolongan terlambat. Kalau muncul malam, maka paginya meninggal.
Yang paling menakutkan kalau penularan melalui udara, jenis yang menyerang paru-paru Kalau organ tubuh ini diserang maka pemilik tubuh ini batuk menyemburkan darah. Tentunya, kalau ada manusia sekitarnya kebagian cipratan daerah dan menghirup hawa mengandung bibit celaka itu tertular. Namanya Long Pest. Jauh lebih kejam, jauh lebih mematikan.
Angka korban menurut surat kabar Tjahaja Timoer, Rabu 14 Januari 1914 begitu meyakinkan. Pada 1911, sebanyak 1.855 penduduk Malang tertular dan dari jumlah itu 1.490 mati. Disusul Kediri dengan 133 orang tertular, 113 mati, Tulung Agung 48 kena, 46 mati. Sementara di Surabaya jumlah korban lebih sedikit 25 orang dan 11 di antaranya mati.
Tahun berikutnya, Malang menderita 1.501 orang dan 1.448 mati, Kediri tetap nomor dua 430 kena dan 390 mati, Tulungagung 81 kena, 67 mati, Surbaya 49 kena, 47 mati. Wabah singgah di Problonggo mengambil satu orang meninggal.
Siapa yang paling banyak jadi korban?, ya, si Kromo. Di Kota Malang saja, ratusan pribumi mati dan Londonya hanya berapa orang. Untungnya Belanda-belanda itu tahu diri untuk tidak merayakan tahun baru pada 1914 dengan pesta besar, bahkan Kota Malang resmi jadi kota praja pada 1 April ini.
Kami orang Jawa menyebut malapetaka ini sebagai Pageblug. Namanya yang sangat menakutkan. Mungkin tidak begitu mengerikan kalau vaksinasi lancar dan tak terlambat. Atau para pamong prajanya sesama Orang Jawa cepat melapor dan tidak menutup-nutupi kalau warganya diserang.
Kalau hanya satu atau dua orang, mereka menyuruh para kuli mengubur diam-diam. Kalau Dinas Pes datang, mereka bilang: "Kampung kami aman Meneer!" Lalu mereka dapat pujian dari Tuan Londonya: "God! Kamu orang kerja bagus!"
"Memangnya masih ada serangan lagi Dok?" Prapto, Mantri saya membuka percakapan ketika saya ajak berbegas meninggal rumah.
"Kampung Temenggungan," jawab saya sambil menelusuri gang menuju Jalan Jodipan. Di jalan itu sudah menunggu Mahrus, kusir dokar langganan saya. Berdia kami menumpang dokar menuju utara.
"Dokter Te Vogel sudah diberitahu?" Prapto mengingatkan saya.
"Dokter Bernard yang kasih tahu. Dia yang telepon saya tadi. Pasti dia juga telepon Tuan Vogel."