Paangg! Sebuah tembakan senapan mengakhiri riwayatnya. Bocah di pelukan saya menjerit meraung, lalu menangis. Tikus kelabu itu mencicit terakhir kalinya lalu tergeletak mati. Opas itu menembak dengan tepat di dekat kepalanya. Dia tersenyum bangga. Padahal tadi dia tidak bisa berbuat apa-apa menolong korban.
"God, kamu kerja bagus!" sindir saya pada Opas bernama Agus itu.
Opas itu malah bergembira. Dia meneruskan usahanya membunuh para tikus itu dengan penuh semangat bersama opas-opas lain dengan popor, peluru dan parang. Ramai suaranya. Lalu saya mencium bau asap sengit. Rumah-rumah mulai dibakar. Pantas tikus-tikus itu berlari.
Tak jauh dari tempat itu, ada empat tubuh ditutupi kain batik. Dua pasti orangtua dari bocah ini dan dua lagi dari rumah lain. Seorang lagi masih hidup ditutupi kain batik dan ditandu. Rupanya petugas pes masuk, pasti ada Londo yang datang.
"Anak yang cantik, siapa namanya dokter Soedjono?" suara seorang Londo tua yang lembut, seperti biasanya melembutkan hati saya apabila penuh gejolak marah.
"Mulai sekarang namanya Rini, dok. Dia anak saya dokter Bernard," ucap saya sambil mengusap air mata bocah ini dengan lengan baju surjan saya. Bocah itu diam bersamaan dengan meredanya suara tembakan.
Kedatangan Belanda-belanda itu membuat tingkah laku para opas itu seperti kerbau di sawah, manut. Bahkan komandan opas itu marah besar, karena mereka menghabiskan banyak peluru dan petugas pes mendadak menjadi cekatan.
Prapto mengambil sehelai kain batik di dokar yang tadi untuk pasien, lalu menyelimuti bocah itu dari udara dingin.
"Besok, saya yang melaporkan ke dokter Te Vogel. Kamu memang selalu paling depan kalau ada kejadian seperti ini."
Berapa petinggi Belanda berkumpul di lapangan. Mereka tampak tidak puas. "Empat lagi mati! God Verdome! Mana itu Kepala Kampung!" teriak seorang pejabat Belanda dengan muka merah.
Memang ada juru tulis kampung yang tengak-tengok bersama seorang bujang, yang tidak tahu di mana kepala kampung.