Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pageblug

7 Maret 2021   14:45 Diperbarui: 12 Maret 2021   16:01 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paangg! Sebuah tembakan senapan mengakhiri riwayatnya. Bocah di pelukan saya menjerit meraung, lalu menangis. Tikus kelabu itu mencicit terakhir kalinya lalu tergeletak mati. Opas itu menembak dengan tepat di dekat kepalanya. Dia tersenyum bangga. Padahal tadi dia tidak bisa berbuat apa-apa menolong korban.

"God, kamu kerja bagus!" sindir saya pada Opas bernama Agus itu.

Opas itu malah bergembira. Dia meneruskan usahanya membunuh para tikus itu dengan penuh semangat bersama opas-opas lain dengan popor, peluru dan parang. Ramai suaranya. Lalu saya mencium bau asap sengit. Rumah-rumah mulai dibakar. Pantas tikus-tikus itu berlari.

Tak jauh dari tempat itu, ada empat tubuh ditutupi kain batik. Dua pasti orangtua dari bocah ini dan dua lagi dari rumah lain. Seorang lagi masih hidup ditutupi kain batik dan ditandu. Rupanya petugas pes masuk, pasti ada Londo yang datang.

"Anak yang cantik, siapa namanya dokter Soedjono?" suara seorang Londo tua yang lembut, seperti biasanya melembutkan hati saya apabila penuh gejolak marah.

"Mulai sekarang namanya Rini, dok. Dia anak saya dokter Bernard," ucap saya sambil mengusap air mata bocah ini dengan lengan baju surjan saya. Bocah itu diam bersamaan dengan meredanya suara tembakan.

Kedatangan Belanda-belanda itu membuat tingkah laku para opas itu seperti kerbau di sawah, manut. Bahkan komandan opas itu marah besar, karena mereka menghabiskan banyak peluru dan petugas pes mendadak menjadi cekatan.

Prapto mengambil sehelai kain batik di dokar yang tadi untuk pasien, lalu menyelimuti bocah itu dari udara dingin.

"Besok, saya yang melaporkan ke dokter Te Vogel. Kamu memang selalu paling depan kalau ada kejadian seperti ini."

Berapa petinggi Belanda berkumpul di lapangan. Mereka tampak tidak puas. "Empat lagi mati! God Verdome! Mana itu Kepala Kampung!" teriak seorang pejabat Belanda dengan muka merah.

Memang ada juru tulis kampung yang tengak-tengok bersama seorang bujang, yang tidak tahu di mana kepala kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun