Teteh Mayang dan Teteh Ira, serta rombongannya kembali sore hari. Mereka membawa kabar mengejutkan.
"Ada yang aneh di tempat kalian sebutkan Kabandungan itu? Â Banyak reruntuhan bangunan, tetapi tidak seperti yang kami lihat dulu. Tetapi itu dari atas hanya sekilas. Banyak orang Pasir Batang di sana," tutur Mayang.
"Danaunya sudah lama mengering, Â bahkan sudah lama jadi pemukiman," sahut Ira.
"Bahkan seperti ada masjid dan mungkin juga gereja, aku katakan seperti..." tambah Mayang.
"Apa? Mustahil. Ini katanya zaman dulu di Bumi," kata Samuel. " Kalau pun ada agama paling pura Hindu. Oke, ada masjid mungin keturunan kawan-kawan anjeun dulu."
Aku mengamati gambar yang diambil dari atas jarak jauh pula. Tempat itu terlalu terbuka. Tentunya mereka tidak berani terbang lebih dekat.
                                               ****
Samuel dan kawan-kawan tidak hanya mengajaran keprajuritan, tetapi juga main sepak bola bagi remaja dengan lapangan seadanya. Sementara prajurit Tika malah mengajarkan bernyanyi bagi mereka yang mau. Â Musiknya dengan peralatan audio yang kami bawa. Â
Perawat Rima Talisa memenuhi janjinya mengajarkan mode rambut. Aku sampai terkejut rambut Purbasari dicatnya pirang. Sesuatu mode yang belum zamannya. Tentunya aku minta kembali  jadi hitam.
"Kita mensesuaikan diri pada zaman dulu bukannya mengajarkan mereka apa yang belum ada di zamannya," ujar aku gusar. "Aku takut reaksi kimianya untuk orang zaman dulu."
"Ntar kita balikin, namanya mengisi waktu," Rima berkilah. Dia dengan cepat mendapat pengikut kalangan perempuan. Â Para perempuan muda terpesona dengan ratunya, ya dengan polos minta dicat juga. Akhirnya aku mengalah. Dalam beberapa hari sudah belasan remaja bersolek dengan jasa Rima.