TUJUH
"Kakanda, bangun! Â Ada orang-orang asing mencarimu. Â Di antaranya ada yang mengaku Ambu Anjeun," terdengar suara Purbasari di samping tempat tidurku. Â Dadung Bala Dewa juga ada. Mereka tampaknya terheran-heran.
Aku menggeliat. Â Lalu bangun. Â Aku tadi salat subuh dan kemudian tidur lagi, kelelahan habis bekerja di ladang membantu panen jagung dan panen ikan mas.Â
"Guru, ini Ambu!"
Suaranya aku kenal. Â Suara Ambu aku. Mustahil, orang-orang dari Titanium menyusul ke Bumi. Mereka pasti melacak dari radar antar pesawat dan juga dari hanggar.
Dengan mata masih mengantuk, aku mengikuti istriku turun dari tanggung panggung. Â Ternyata di bawah memang menunggu Ambu aku dengan mata berkaca-kaca. Â Aku melihat sekelilingnya ada Teteh Mayang, Teteh Sisil, Kang Mamo, Teteh Ira, dokter Oscar ahli alergi aku, ada sejumlah orang sipil lainnya dan sembilan tentara bersenjata lengkap. Â Di antara tentara itu ada yang aku kenal Samuel Wanggai. Dia juga senang.
Aku juga melihat rombongan membawa belasan robot anjing. Para warga juga takjub melihat robot anjing itu. Â Itu artinya mereka serius mencariku dengan peralatan lengkap. Â Seluruh rombongan berjumlah di atas dua puluh orang. Pastilah dipakai pesawat guru minda ukuran besar. Â Aku melihat ada motor capung terbang dan jip terbang. Namun baru sebagian.
Mimpi?
Aku menghambur dengan hanya celana dan baju warga sini dan tubuh yang berbulu seperti lutung memeluk Ambu. Â Dia tidak memperdulikannya, tidak ada rasa jijik. Â Air matanya berjatuhan. Aku pun tak bisa menahan air mataku.
Mereka masih peduli kepada aku. Walau aku buruk rupa. Bagaimana pun Ambu adalah semesta pertamaku. Aku lahir dari rahimnya dan dia tetap menerima aku apa pun adanya.
"Maafkan aku Ambu!" Aku makin terisak. Air mataku berhamburan. Â Purbasari menyaksikan juga tak bisa menahan tangis. Â Aku berlutut di kakinya.
"Mereka sudah cerita pada aku, waktu Kakanda tidur!" Purbasari terharu.
"Pasukan kahyangan datang menolong kita!" celetuk warga.
Hiyang ada di sini tidak menampakan diri. Mereka menterjemahkan percakapan kami ke pikiran mereka. Ini skenario mahluk alien itu?
Lalu kami diajak ke balai desa. Â Para prajurit Titanium dan pengawal Purbasari menyebar sekeliling dusun.
"Kapan kalian datang?" tanyaku pada Samuel.
"Sudah seminggu waktu di sini. Repot kami menghadapi orang-orang  yang sepertinya memusuhi kalian? Pesawat terpaksa ditinggal!"
"Di mana?"
"Agak jauh dari pesawat anjeun, Guru. Â Kami menyembunyikannya dalam situ. Â Karena pesawatmu sudah ditemukan orang-orang itu," sahut Kang Mamo. "Ada seorang perempuan mengamatinya dan ikut masuk ke dalam pesawat."
Ada yang pintar di antara mereka? Purbaendah? Â Gumam aku.
"Di radar kami melihat sudah ada yang mengendarai motor capung dan mahir menembak pula, entah siapa sasarannya."
Purbaendah lagi? Â gumamku.
"Bukan itu saja. Â Pesawat kami bukan satu-satunya yang menyusul anjeun. Tetapi ada pesawat lain dari Preanger. Entah siapa. Apa tujuannya. Bahkan dia lebih cepat dari kami, ketika menempuh lubang cacing," Sisil ikut berkomentar.
"Apa?" Aku terperanjat. "Saha?"
"Guru sudah berapa lama di sini? Waktu Bumi?" tanya Ambu.
"Tujuh bulan."
"Syukurlah, Kami kira menemui anak cucumu. Lubang Cacing membuat segala kemungkinan," sahut teteh Ira.
"Anjeun bertemu anakku atau keturunannya?" potong teteh Mayang.
"Belum Teteh. Tapi Kerajaan Pasir Batang menyerang negeri yang namanya Kabandungan. Mungkin itu negeri anak teteh, dan mereka juga ada bawa motor capung."
"Kabandungan? Mungkin itu tempat anakku dulu tinggal. Tepatnya kota Bandung dalam sejarah nenek moyang kita dulu," papar teteh Mayang.
Para tamu diajak Purbasari ke bangunan lain yang memang untuk para tamu. Mereka dijamu. Â Samuel bercerita soal patroli untuk melacak keberadaan aku selama seminggu mereka di Bumi. Â Ada satu insiden yang tak terhindar dengan orang-orang yang kemungkinan tentara bayaran dari Atlantis, ketika patroli darat bertemu. Patroli kecil hanya tiga atau empat orang dan semua terpaksa ditewaskan.
Ambu membelai rambutku dan dokter  Oscar memeriksaku.
"Jadi anjeun sudah menikah dengan perempuan ini," ucap Ambu. Tak ada rasa penolakan. Suaranya lembut. "Ini gadis dalam mimpimu?"
Aku mengangguk. Â Oscar kemudian memperhatikan bintik-bintik menghitam di kulit Purbasari.
"Ini mah, gatal-gatal kena kimia . Sepertinya dari Bumi juga bahannya. Â Kami sudah lama mengatasi hal ini dan tidak pernah terjadi di Titanium. Bisa kami sembuhkan dengan obat-obatan dan air balerang."
Oscar memerintahkan para perawat membuat ramuan dan meminta pengawal Purbasari menyiapkan bak mandi. Â Warga desa yang merempuan dan para perawat segera menyiapkan bak mandi dari batu.
"Kamu juga mandi air balerang, yang bisa merontokan bulu anjeun," kata dokter Oscar. "Itu baru aku sadari."
"Di mana bisa menemukan air balerang? "
"Patroli sudah mengambilnya secara sembunyi-sembunyi tentunya. Kami malas bentrok dengan gerombolan itu sebelum menemukan Anjeun. Â Aku sampai menyamar jadi warga ketemu patroli ulit putih itu. Karena kulitku hitam dibilang orang primitif. Geli, pengen aku bikin kejang-kejang orang primitif itu," Samuel seperti mencurahkan isi hatinya.
Aku tergelak mendengar ucapan Samuel. Primitif di sini jadi relatif. Â Padahal darah manusia sama-sama merah tidak berbeda dengan warna kulit. Rasa superioritas berdasarkan ras, suku, agama apalagi kelas sosial sudah kami hapuskan sejak memilih hidup bersama di Titanium.
Para pendiri koloni yakin, keadilan sosial ekonomi, akses teknologi akan menghapuskan konflik sosial. Â Angka kriminalitas nol. Beberapa kali memang ada anak-anak berkelahi, tetapi cepat selesai, satu lawan satu. Titanium nyaris seperti surga. Orang Pasir Batang bilang surga itu kahyangan. Kami orang yang turun dari kahyangan.
"Sebetulnya sejak kapan orang kulit putih merasa superioritas?" tanya Samuel.
"Sejak zaman Romawi sudah ada. Tapi sebetulnya tidak juga, bangsa Eropa pernah porak-poranda oleh Mongolia, tapi akhirnya bangsa Eropa unggul karena teknologi, terutama sejak zaman renaisance dan Revolusi Industri. Superioritas itu sudah dikonstruksi dalam pikiran  selama berabad-abad," papar aku.
"Mereka punya teknologi tanpa kearifan?"
Aku mengangguk. Seperti orang yang berkulit putih, tentara sewaan Pasir Batang mengira lebih superior karena kulitnya putih dan punya teknologi. Mereka dengan Purbararang saling memanfaatkan.
"Purbasari ini tadinya...."
"Ambu sudah dengar ceritanya dari adiknya Purbaleuwih. Dia harusnya jadi ratu?"
Mayang dan Ira tampak geram. "Kami kira Sang Kuriang atau keturunannya sudah berkuasa."
Dua bak air balerang sudah disiapkan untuk kami ditempat terpisah. Kami berendam. Hanya saja tambahan obat-obatannya berbeda. Oscar memberi tambahan obat anti alergi berbentuk tablet.
Sore hari pengobatan pertama selesai. Â Wajah Purbasari lebih cerah, walau bintik-bintik hitamnya belum rontok. Perawat mengoles salep ke setiap bintik hitam.
Sementara aku menyaksikan beberapa bulu mulai rontok. Â Tentu perlu waktu.
Warga desa mengelilingi seorang perawat yang  mengaku bernama RimaTalisa dan prajurit bernama Tika Dayanthi. Mereka terpukau karena Tika suaranya lembut, kerap berdendang sambil berjaga. Ketika dia bernyanyi, maka para perempuan dan laki-laki melengggok.
Sementara Rima merawat rambut Purbasari dengan telaten. Rima mampu membuat rambut para perempuan di sini menjadi lebih bersih, karena ramuan yang dibawa dari Titanium.
Mereka menanyakan mereka apakah mereka bidadari dari Kahyangan. Para orangtua anak-anak itu sering bercerita soal bidadari dari kahyangan. Cantik dan pandai bernyanyi.
"Nanti kami ajarkan menyanyi dan berdandan," kata Tika geli. Â Â Â Â Â Â
Harusnya misinya membawa pulang aku, tapi pengobatan hanya bisa dilakukan di Bumi. Lagipula mereka tidak menduga bahwa aku sudah menikah dan Purbasari. Perintah Dewan: Angkut semua tidak mudah.
Sementara warga Cupu Mandalayu membutuhkan kami. Mereka butuh berlindungan. Sewaktu-waktu pasukan Pasir Batang akan menyerang. Â Para pengawal Purbasari dilatih menembak dengan senjata high voltase yang dibawa cukup banyak. Lawannya juga tangguh. Aku khawatir pertempuran besar tidak bisa dihindari. Â Itu kekhawatirannya.
Tentu saja saya bertambah teman salat, termasuk Ambu. Â Aku senang Ambu ikut memasak. Dia juga memeriksa kesehatan anak-anak Cupu Mandalayu dan memberinya vitamin.Â
Setelah dua minggu, sebagian besar bulu-bulu mulai rontok, terutama di wajah dan tangan. Tetapi Purbasari sudah sembuh. Kulitnya mulus dan kembali cantik. Rambutnya juga bertambah panjang dan hitam mengkilat.
"Anjeun bertambah cantik," ucap aku.
"Kakanda juga bertambah tampan," dia ganti memuji
Teteh Mayang dan Teteh Ira masih rajin berpatroli ditemani  Sersan Mayor Malik Tanjung, Prajurit Tika Dayanthi,  Prajurit Prapto Sulistyo.  Sementara komandan pasukan kawan saya Letnan Satu Samuel Wanggai dan tentara lainnya melatih para pengawal.
Minggu lalu  Gigin kawan sedusun Dadung Baladewa juga datang bergabung. Dia berbakat untuk menjadi prajurit. Katanya dia ingin melawan Purbararang.
"Aneh juga kehadiran sudah dua minggu tidak disadari Pasir Batang," ucap Purbaleuwih.
Itulah aku tanyakan dalam hati. Â Mereka belum tahu atau sudah tahu dan menyiapkan rencana.
Teteh Mayang dan Teteh Ira, serta rombongannya kembali sore hari. Mereka membawa kabar mengejutkan.
"Ada yang aneh di tempat kalian sebutkan Kabandungan itu? Â Banyak reruntuhan bangunan, tetapi tidak seperti yang kami lihat dulu. Tetapi itu dari atas hanya sekilas. Banyak orang Pasir Batang di sana," tutur Mayang.
"Danaunya sudah lama mengering, Â bahkan sudah lama jadi pemukiman," sahut Ira.
"Bahkan seperti ada masjid dan mungkin juga gereja, aku katakan seperti..." tambah Mayang.
"Apa? Mustahil. Ini katanya zaman dulu di Bumi," kata Samuel. " Kalau pun ada agama paling pura Hindu. Oke, ada masjid mungin keturunan kawan-kawan anjeun dulu."
Aku mengamati gambar yang diambil dari atas jarak jauh pula. Tempat itu terlalu terbuka. Tentunya mereka tidak berani terbang lebih dekat.
                                               ****
Samuel dan kawan-kawan tidak hanya mengajaran keprajuritan, tetapi juga main sepak bola bagi remaja dengan lapangan seadanya. Sementara prajurit Tika malah mengajarkan bernyanyi bagi mereka yang mau. Â Musiknya dengan peralatan audio yang kami bawa. Â
Perawat Rima Talisa memenuhi janjinya mengajarkan mode rambut. Aku sampai terkejut rambut Purbasari dicatnya pirang. Sesuatu mode yang belum zamannya. Tentunya aku minta kembali  jadi hitam.
"Kita mensesuaikan diri pada zaman dulu bukannya mengajarkan mereka apa yang belum ada di zamannya," ujar aku gusar. "Aku takut reaksi kimianya untuk orang zaman dulu."
"Ntar kita balikin, namanya mengisi waktu," Rima berkilah. Dia dengan cepat mendapat pengikut kalangan perempuan. Â Para perempuan muda terpesona dengan ratunya, ya dengan polos minta dicat juga. Akhirnya aku mengalah. Dalam beberapa hari sudah belasan remaja bersolek dengan jasa Rima.
Pada minggu ketiga bulu-buluku sudah berkurang  80%.  Tinggal sebagian di tangan dan kaki, serta dada sudah mendekati manusia normal.  Di wajah hanya tinggal garis tipis.  Seorang mekanik bernama Maman Purnama mencukur rambutku yang lebat.  Purbasari menyaksikan antusias, begitu juga Ambu.
"Ingin tahu Kakanda kalau dicukur pendek seperti apa," kata Purbasari.
Maman tertawa. Dia dapat antrian dari warga Titanium dan warga Cupu Mandalayu. "Barangkali nene moyang aku tukang cukur di Garut," kelakarnya.
Dia memeriksa sekujur kepalaku. Tiba-tiba ia tersentak, ada bekas merah di dekat telingaku.
"Anjeun pernah pakai alat transfer mimpi terlalu lama?"
Aku menggeleng. "Alat itu ada di Titanium sejak lama. Tapi aku pernah memakainya, hanya lima menit," sahut aku. "Mengapa?"
"Tidak boleh lebih dari lima belas menit, ini sepertinya satu jam lebih. Ada yang mentransfer mimpi dalam bentuk potongan film dijejalkan dalam otak anjeun," kata dia.
Ambu dan Teteh Mayang mendengar tersentak. Purbasari juga tapi tak mengerti.
"Siapa yang berbuat iseng seperti itu? Kawan sekuliahmu mungkin lagi ketiduran," kata Mayang.
"Bagus? Dia memang suka jahil. Kami teman sekamar sering menjahili," ujar aku.
"Betul itu Ambu! Â Kami Geng Gedung Indonesia Menggugat suka buat olok-olok!" teriak Samuel.
Buat penasaran. Mimpi apa yang ditransfer ke kepalaku.  Tapi sudahlah katakan itu Bagus.  Dia tetap kawanku.  Tapi aku nggak pernah mimpi film apa pun, kecuali Purbasari dan negeri ini yang cukup banyak. Mustahil  Bagus mendapatkan hal itu.
"Sudahlah, katanya anjeun mengajarkan anak muda di sini main bola, selain keperajuritan?" celetuk aku.
"Sudah seminggu ini.  Lapangannya yang bagus mau  dibuat,"
"Aduh, Bandung saja belum ada, mau dinamakan Persib juga?"
"Nggak laah!, tapi Persatuan Sepak Bola Putra Mandalayu," sahutnya.
Yang paling senang main sepak bola adalah Dadung Baladewa. Bahkan dia berbakat. Â Dia mampu mengolah bola dan mengecoh pemain belakang lawannya. Â Dia punya kawan yang juga berbakat, namanya Cecep Wijaya. Kalau Dadung mampu mendrible dengan cekatan, maka Cecep penerima umpan yang baik dan antisipasi cepat. Â Kalau mereka dalam satu tim, Dadung mengirim umpan dan Cecep menyundul.
Yang jadi kiper, ya Mamo pilot. Â Dia kerap kebobolan. Dia kerap mengumpat.
Mulanya main bola  enam lawan enam, campur orang dewasa dan anak-anak secara merata. Akhirnya setelah lapangan standar jadi sebelas lawan sebelas. Aku pun juga main masih dipanggil Si Lutung walau tidak lagi berbulu lebat.
Kalau aku main bola, Purbasari dan Ambu juga ikut menonton. Itu yang aku senang. Mereka menyoraki. Kalau Mamo punya suporter setia namanya Sisil, pilot juga. Â Samuel bertindak jadi wasit.
                                          ****
Yang membuat  aku semakin betah, Ambu semakin dekat dengan Purbasari.  Dia seperti merestui. Kami bertiga sering berdiskusi tentang kepemimpinan perempuan.  Aneh juga, di Pasir Batang tidak ada bias jender dalam soal kepemimpinan.  Ayahnya Tapa Agung punya anak tujuh, perempuan semua.Â
Di luar Purbararang, Purbamanik, serta Purbaendah di satu pihak, dengan Purbasari dan Prubaleuwih di pihak lain, sebetulnya ada  Purbakencana dan Purbadewata. Tetapi keduanya  sedang  menjadi duta di tempat jauh ketika prahara terjadi, berapa bulan setelah Tapa Agung turun tahta.Â
"Tapi ada kabar mereka memihakku dan mencela tindakan Purbararang. Apalagi semua pejabat sudah menyetujui," ucap Purbasari.
"Karena Indrajaya?"
"Iya, laki-laki dari negeri asing itu mampu memikat kakak Purbararang. Â Ibunya sebetulnya dari negeri Pasir Batang dan ayahnya pedagang besar. Â Kang Indrajaya punya ambisi besar ingin mengeruk banyak kekayaan dengan memanfaatkan kakakku dengan menaklukan negeri lain. Cocok juga dengan pikiran Purbararang yang menilai ayahnya terlalu lemah terhadap negeri lain. Padahal Pasir Batang adalah negeri yang kuat."
"Kakakmu butuh tunangannya untuk membiayai peperangannya, Indrajaya mampu mendatangkan tentara bayaran dengan emas?"
Purbasari mengangguk.
"Nyi Ronde siapa?"
"Resminya penasehat Purbararang. Dia juga orang asing. Dia punya senjata dari tongkatnya mengeluarkan cahaya yang mampu melumatkan tubuh manusia, rakyat kami mengira punya sihir."
"Nggak ada itu. Dia punya ilmu pengetahuan dan teknologi," sela Samuel Wanggai. "Kami juga bisa mengajarkan rakyat Cupu Mandalayu seperti itu, tetapi untuk apa?"
"Iya, aku setuju ilmu pengetahuan dan yang anjeun  sebut sebagai teknologi kalau digunakan serampangan bisa membuat manusia tak ubahnya jadi lalim bahkan jadi setan. Itu sebabnya aku hanya ingin ilmu untuk membuat padi jadi berlipat ganda, peternakan ayam, sapi dan ikan. Tidak merusak hutan. Itu juga ajaran ayahku."
"Tetapi bukankah senjata juga perlu untuk mempertahankan diri?"
"Itu kelemahanku, kalau saja semua negeri berpikir senjata tidak perlu, amanlah dunia ini."
Hatinya melebihi kecantikan wajahnya. Â Aku tak keberatan dipimpinnya. Â Penyakit akibat ulah Nyi Ronde sudah lenyap. Begitu juga aku sudha mulai normal. Tak sabar juga menunggu komentar Indrajaya.
Kami ngobrol di ruang tamu. Samuel kerap pergi, lalu balik lagi ikut nyeletuk. "Ingin tahu posisi Persib bagaimana euy!"
Terdengar lantunan lagu di luar, lah itu lagunya dari Band Caramel, lalu lagunya Lintang.
"Waduh giliran si Tika yang ngeracuni anak-anak di sini," kataku.
"Sudah jenuh, barangkali. Dia kan sebetulnya  remaja juga, " ucap Ambu.
"Aku juga ingin menari mendengarnya," sahut Purbasari berdiri dan melenggang. Manusiawi sekali. Dia tetap anak muda, walau pimpinan Capu Mandalayu.
"Kita sebetulnya dikepung, Nggak bisa keluar dari areal seputaran gunung. Patroli harus sembunyi-sembunyi untuk menghindari pertempuran terbuka. Kasihan rakyat di sini, pengungsi terus datang. Banyak dari negeri lain. Tetapi mereka juga tidak kunjung menyerang," papar Samuel.
"Telik sandi bilang aku bilang, Purbararang ada di Kabandungan sejak berapa bulan. Entah apa yang dilakukan. Dia sudah ditemui seorang asing entah apa yang dilakukannya. Purbararang dan Indrajaya tidak mudah memerintahkannya memimpin penyerangan ke tempat ini. Mereka sudah menugaskan panglima lain, mungkin orang asing."
"Mengapa tidak anjeun informasikan kepada kami?" ujar Samuel. "Orang asing itu dari Titanium juga entah siapa dan apa maksudnya."
"Aku tak mau merepotkan kalian. Sudah terlalu banyak berbuat."
"Ah, sudah terlanjur terlibat," ucap Samuel. Â "Kami sudah terlibat pertempuran."
Aku menangkap ada rasa solidaritas dalam hati Samuel.  Sebetulnya juga teman-teman Titanium lainnya. Apalagi Ambu. Aku anaknya. Masalahnya  ada ayah dan adikku di Titanium. Namun aku sudah bereras mendampingi Purbasari, walau itu di Bumi.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H