"Itu kan mirip pelontar panas yang kita punyai? Mereka mempunyai semacam itu juga Cuma lebih kasar," ucap Kapten Ginanjar.
Manusia burung? Aku pernah membaca soal Icarus dari sejarah kuno Bumi. Â Aku kira dongeng, tapi ternyata bisa diwujudkan.
Aku melirik Ira. Dia sama sekali tidak takut.  Wajar sebagai  tentara. Tetapi lawannya waktu di Titanium adalah Bolo yang tidak bersenjata api atau listrik dan bukan manusia yang cerdas juga. Yang aku khawatir Ira berperang dengan penuh kebencian.                             Â
Mungkin dia membayangkan seperti apa anaknya terkena tembakan itu. Lalu dia menembakan pelontar listriknya mendahului Kapten Ginanjar. Seorang manusia burung jatuh terhempas ke tanah. Kejang-kejang, reaksi seperti kena listrik  tegangan tinggi. Bagian terkena menghitam dan jaringannya mati. Akhirnya dia tewas.
"Kulit putih?" bisik Ginanjar ketika kami melihat sosok manusia terkapar. "Anggap saja kumpeni."
Aku melihat mayat terkapar, pakaiannya dari kulit tetapi dibalut sejenis logam yang menghubungkan kedua sayap masing-masing selebar tiga meter terbuat dari bulu-bulu yang direkat entah oleh apa. Disabuknya ada semacam kotak yang mungkin pengendalinya.
"Kumpeni? Saha?" tanya aku. "Penjajah nenek moyang kita dulu?" Â Â Â Â Â Â Â Â
"Betul," jawab  Ginanjar.
Kami terkesima, begitu mendarat kedua sayapnya ditarik masuk ke kotak besar di pungggungnya, hingga gerakan mereka leluasa. Seorang serdadu Atlantis tiba-tiba mendekati aku. Rupanya karena melamun aku lengah.
Dia membidikan senjatanya, namun ketika dia melihat aku. Dia terdiam dan menurunkan senjatanya. Entah apa yang dipikirkan. Tapi dia meraihku dan kemudian membawa aku terbang.