"Mayang? Tidak Mungkin?" ucap dia terbata-bata.
Aku ganti terperanjat. Itu Angga Wibawa? Suamiku? Bisa-bisanya di Atlantis? Hanya saja rambutnya sudah sangat memutih.
Aku kemudian menengok sekeliling. Â Tampak sosok berbulu yang kami lihat di gua dan atas bukit bergelimpangan mati.
"Ada apa ini Kang? Kamu bisa-bisanya di pihak penjajah? Kalian pembunuh manusia?" Aku rindu, tetapi sekaligus bertanya.
"Penjajah? mahluk ini bukan manusia? Binatang. Kami perlu negeri untuk tempat penduduk Atlantis pindah."
Bukankah tak bedanya orang Spantol membunuh orang Indian dengan kejam hanya untuk emas. Aku pernah baca itu. Bangsa yang menggunakan kelebihan teknologi untuk membunuh. Mereka menganggap orang barbar sah-sah saja dibunuh.
"Tapi kalian menjajah! Apa-apaan Kang Angga, kamu kan dari Titanium, peradaban kita humanis. Kita tidak kenal pembunuhan terhadap sesama manusia. Membunuh Bolo saja, karena menyerang lebih dulu."
Angga diam. "Dulu aku orang Titanium. Kini aku orang Atlantis. Mereka menyelamatkan nyawaku dan rajanya mengangkat aku jadi panglimanya."
"Kamu terdampar di Atlantis? Di mana itu?"
"Jauh dari sini."
Angga dan belasan orang Atlantis membawa aku  ke atas bukit.  Aku meliihat berapa prajurit Atlantis menembaki manusia gua yang sudah meraung, minta dikasihani.  Rupanya mereka ingin menggunakan guanya untuk jadi markas.Â