Sumatera 1950-an Menurut Berita Surat Kabar
Sesudah merdeka hingga pada 1950-an berita tentang serangan harimau yang memakan korban jiwa dalam jumlah besar di kawasan Sumatera bisa dihitung dengan jari. Suara Rakjat Sumatera Selasa 26 Februari 1952 memuat kabar ” 200 Orang Korban Harimau di Musi Ilir/Rawas” merupakan salah satu di antaranya. Kawasan Musi Ilir dan Musi Rawas pada masa itu berkeliaran binatang buas seperti harimau dan buaya. Sejak lima tahun sebelumnya (1947) harimau-harimau sering turun gunung, mengacau bukan saja memangsa ternak seperti sapi, kambing, tetapi juga manusia. Perang kemerdekaan hingga bubarnya Negara Sumatera Selatan (NSS) membuat banyak mayat berserakan dan tak dikubur menjadi santapan harimau. Setelah makanan habis, harimau-harimau mendatangi pinggir dusun dan menyerang ternak. Jumlah harimau terus bertambah. Sekali pun penduduk dusun kadang kambing dikoyak dan dibongkar. Penduduk yang sedang bekerja di kebun atau yang pulang-pergi diserang menjadi korban.
Bukan sadja dikebun2 harimau berani, tetapi djuga didalam rumah, dimana pernah seorang tiga beranak mendjadi korban akibat harimau mendobrak pintu untuk masuk. Dengan demikian umumnja petani2 dalam daerah Musi Ilir dan Rawas selalu siap sedia dan waspada menghadapi setiap serangan harimau jang mungkin terdjadi setjara mendadak. Tetapi sementara itu telah banjak pula jang mendjual kebun seperti di Musi Rawas, karena sudah djemu dan djiwa tidak aman menghadapi harimau. Selain dari pada itu, bukan sedikit jang sudah berentjana untuk mengunsgi kekota2….
Beberapa harimau dilaporkan dapat ditangkap dan dibunuh, tetapi dibandingkan dengan angka jumlah korban manusia sangat jauh memalukan manusia.
Sumatera bagian Selatan mencatat banyak sejarah konflik harimau dan manusia yang cukup panjang, Richard Elis dalam bukunya Tiger Bone and Rhino Horn: The Destruction of Wild Life for Traditional Chinese Medicine, 2005 mengungkapkan antara lain Pemerintah Kolonial di Sumatra menggunakan racun untuk membunuh harimau awal 1900-an dalam jumlah terbatas, serdadu dan polisi juga kerap menembak harimau. Pada 1972 penduduk Baturaja (Sumatera Selatan) mengklaim 30 penyadap karet tewas dimangsa harimau.
Serangan masif lainnya yang bisa dilacak Harian Fikiran Rakjat 4 Februari 1955 ketika terjadi banjir besar melanda Jambi. Tidak terlalu jelas di mana lokasi tepatnya hanya disebutkan seekor harimau betina dan dua ekor anaknya mengancam para pengungsi di sekitar Hutan Kerinci. Harimau ini sebetulnya juga terjebak oleh banjir. Namun polisi akhirnya menembak mati induk harimaunya dan membawa dua ekor anaknya untuk dipelihara di tangsanya di Kota Jambi. Pembunuhan yang disebur “mengakhiri penderitaan” harimau ini mencerminkan bahwa binatang ini memang ditakuti. Hanya dalam waktu sebulan pada Januari 1955 di Keresidenan Jambi tercatat 40 orang tewas oleh serangan harimau.
Hingga saat ini kawasan Sumatera bagian selatan masih ada serangan harimau terhadap manusia atau bergesekan antar dua spesies ini. Misalnya pada Maret 2015 seorang warga Desa Embacang Gedang, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Merangin Jambi tewas diterkam harimau di kebun miliknya, ketika sedang menyadap karet.5 Serangan ini menunjukkan bahwa harimau sudah masuk ke habitat yang dikelola manusia karena menyusutnya habitat hidupnya, seperti yang terjadi 1970-an.
Pikiran Rakjat edisi 6 Mei 1958 melaporkan serangan berikutnya di kawasan Batu Lunggu Lampung (saya agak kesulitan melacak tempat itu saat ini dan kemungkinan di kawasan Lampung Barat berhubungan dengan cerita Buay Belungguh, pasalnya di daerah itu ada situs purbakala). Sejak akhir 1956 hingga triwulan pertama tahun 1958 sekitar 25 orang tewas diserang harimau. Penduduk setempat percaya serangan harimau berhubungan dengan dirusaknya suatu tempat keramat yang disebut “batu bersurat” bertulisan huruf purba-yang diperkirakan dilakukan alat negara dengan dinamit. Batu bersurat itu diyakini sebagai tempat bersembunyi para harimau. Sejumlah kampung dilaporkan dikosongkan menjadi daerah operasi oleh para pemburu.
Saya agak kesulitan apa yang disebut kawasan Batu Lunggu Lampung melacak tempat itu saat ini dan kemungkinan di kawasan Lampung Barat berhubungan dengan cerita Buay Belungguh, pasalnya di daerah itu ada situs purbakala. Data kontemporer juga menunjukkan kawasan Lampung masih mencatat beberapa kunjungan harimau ke “habitat manusia”. Misalnya saja pada April 2015 seekor harimau tiba-tiba muncul di permukiman penduduk di Tanggamus, Lampung. Beruntung tidak terjadi konflik dengan manusia. Harimau akhirnya ditembak bius sebelum semakin jauh masuk ke permukiman.6
Hingga 1950-an harimau masih dicitrakan sebagai hewan berbahaya dan wajib diburu. Penelusuran saya pada majalah Rimba Indonesia yang terbit pada 1950-an terdapat beberapa tulisan kritis tentang perburuan hewan liar yang dinilai sudah dianggap sebagai pembantaian. R. Koesnadi P. Satmoko mengungkapkan terjadinya cara manusia memandang berburu. Dulu manusia berburu untuk makanan atau membela ternak dari ancaman binatang buas. Tetapi berburu akhirnya bergeser menjadi nafsu belaka, mulai dari kekayaan (seperti pada gading gajah) hingga berburu kegemaran dan olahraga. Pada 1950-an perdagangan gelap hewan seperti orangutan sudah dibicarakan, namun belum ada tindakan.7