Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seteru atau Sekutu? Harimau dan Manusia dalam Mitos, Sejarah dan Realitas

16 Juni 2015   22:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58 8497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel dari Mochtar Lubis berjudul Berkelana dalam Rimba, cetakan pertama 1980, yayasan obor 2002 juag menyebutkan data sejarah dan budaya hubungan harimau manusia. Antara lain disebutkan pada pertengahan abad ke 19 ada laporan pejabat kolonial Belanda bahwa di Keresidenan Palembang setiap tahunnya sebanyak 1400-1500 jiwa melayang diterkam harimau. Di masa itu sering terjadi desa ditinggalkan penduduknya atau desa yang kehilangan penduduknya.

Citra harimau dalam dua novel karya Mochtar Lubis ini terasa negatif, mahluk yang membahayakan kehidupan manusia dan wajib diburu. Namun ada juga sastrawan yang melihat harimau adalah sekutu manusia. Harimau ditakuti sekaligus juga dikagumi. Begitu juga kebanyakan cerita folkfore dan dongeng pengantar tidur seperti si kancil dan harimau menunjukkan bahwa raja hutan ini adalah musuh bersama.

SB Chandra membuat novel Manusia Harimau dan beberapa sekuelnya pada 1970-an. Begitu juga dengan Motinggo Busye (nama samaran dari penulis Bustami Djalid lahir dari orangtua Minangkabau 1937-1999) menulis 7 Manusia Harimau sekitar 1980-an yang sebangun dengan cerita “werewolf”di dunia Barat. Harimau di mata dua penulis ini membeirkan kesan tidak sellau menjadi musuh manusia, tetapi juga bisa bebruat kebaikan untuk manusia atau menajdi sekutu.

Harimau dan Manusia dalam Mitos, Legenda, Cerita Orangtua

Bagi masyarakat beberapa tempat di Sumatera hubungan manusia dan harimau mengandung dimensi spiritual. Selain di Minangkabau, masyarakat Kabupaten Kerinci, Jambi juga melihat harimau sebagai hewan keramat, yang dihormati. Di Desa Sungai Deras, Kecamatan Air Hangat Timur, misalnya. Masyarakat masih melakukan beberapa ritual kepada sang raja hutan tersebut.3

Di Jawa Barat ada orang yang percaya ada satu kampung yang penduduknya siang hari manusia dan malam hari harimau. Bahkan di Tanah Pasundan ini, makna harimau memiliki dimensi kultural historis karena ada kepercayaan bahwa sosok Siliwangi yang merupakan representasi dari harimau (maung). Sebuah catatan pada jaman Belanda pada 1687 mengungkapkan mitos harimau ini. Catatan itu berasal dari Laporan Scipio(peneliti asal belanda) pada Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs yang diteruskan kepada atasannya di Belanda yang isinya memberitakan kepercayaan penduduk saat itu. Adapun laporan tersebut berbunyi "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Laporan tersebut ditulis tanggal 23 Desember 1687 (baca tulisan http://firman-raharja.blogspot.com/2008/08/harimau-siliwangi.html).

Cerita lain ialah Babad Panjalu, yaitu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya. Pasangan ini melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang perempuan diberi nama Bongbang Kancana . Karena melanggar suatu pantangan ketika besar si kembar ini menjadi manusia harimau (baca http://raxenasukma.blogspot.com/p/mitos-maung-panjalu-bongbang-larang.html) . .

Di daerah Kerinci, Jambi ada kepercayaan itu disebut Cindaku di mana ada manusia yang mengubah dirinya menjadi harimau malam hari. Tandanya jejadian ini bila manusia itu tidak punya belahan tengah di atas bibirnya. Di Sumatera Barat menurut cerita seorang paman saya, siluman harimau itu diturunkan dari kakek, paman. Bila diturunkan kepada salah seorang dari keponakannya, maka keponakannya itu tidak bisa menolak. Bila diturunkan, biasanya yg menerima seperti punya kesaktian dan power. Biasanya yang ditunjuk gampang menjadi pimpinan.

Dalam cerita yang sudah berkembang, hewan yang bagi orang Minang disebut Inyiak Balang ini, ada yang jadi peliharaan orang tertentu. Pada mulanya, si harimau, suka memangsa ternak warga, kemudian juga mengganggu kenyamanan kampung. Oleh pawang harimau, Inyiak Balang ditangkap. Lalu bertuan pada manusia, siap dipanggil dan disuruh sewaktu-waktu sesuai kehendak tuannya. Hubungan antarâ tuan dengan harimau ini memang cenderung mistis. 

Masih di Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Solok, ada legenda Inyiak Balang ada yang berhabitat di areal peladangan, hutan ulayat, dengan sebutan si-Ampang Limo. Sebutan lain seperti Inyiak Penjaga Kampung. Inyiak Balang sangat jarang memperlihatkan wujud aslinya (tubuh belang), melainkan bisa dibaca secara isyarat. Ketika ada seseorang yang tersesat di hutan, Inyiak Balang suka memberikan pertolongan. Sebaliknya, juga bisa marah bila ada warga yang kedapatan berbuat tidak terpuji atau kejahatan (baca tulisan Yulicef Anthony “Legenda Klasik Harimau di Minangkabau” dalam http://www.jpnn.com/read/2014/09/29/). Cerita ini menarik karena pas dengan cerita ibu saya bahwa “harimau jejadian” ini sebetulnya adalah penjaga kaum (semacam marga). Seorang kakak ibu yang bergabung di PRRI sering masuk hutan dan dilindungi “datuk”-nya dari mara bahaya, termasuk terkaman harimau. Di Ranah Minang, satu kampung itu merupakan tempat tinggal satu kaum. Menurut cerita ibu saya yang pernah tinggal di Sumatera Barat itu manusia harimau itudari seorang datuk (kakek). Kadang ia bersembunyi di bawah kolong rumah gadang. Di ranah Minang, ada menyebut harimau sebagai Inyak (atau nenek). Seorang kakak ibu saya kerap melempar makanan agar disantap oleh harimau jelmaan manusia itu.

Di Banten terdapat cerita rakyat tentang Syekh Mansyurudin. Dalam pengembaraannya di Banten Selatan, Masyurudin bertemu harimau yang terjepit kakinnya di kima. Ia pun melepas jepitan itu dengan perjanjian harimau dan keturunannya tidak menganggu keturunan Mansyrudin. Harimau itu menyanggupinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun