Nafsu makanku hilang beberapa hari ini. Aku duduk sesaat di ranjangku yang bernuansa putih, ditemani sebuah boneka kucing kesayanganku.
Kuraih boneka itu, kemudian kudekap. Kupandangi foto keluarga kecilku yang terpampang di atas meja belajarku. Terlukis kebahagiaan disana. Orang-orang yang kucintai.
"Ra! " Ayah memanggilku. Pertanda waktunya berangkat ke sekolah.
"Iya, yah! " Segera kuletakkan boneka kucingku disamping bantal putihku dan segera meraih tasku menemui ayah.
"Ra, kamu pucat sekali, nak" Ibu memandang wajahku. Ayah turut mengamatiku.
"Nara ga apa-apa kok, bu. Nara baik-baik aja. " Kataku agar ibu tidak khawatir.
"Ayo, Yah! Nanti Nara terlambat ke sekolah. " Pintaku pada ayah.
Selama perjalanan ke sekolah, rasanya pusing kepalaku semakin menjadi. Pusing yang kualami semakin tidak tertahan. Aku berusaha sekuat tenaga memegang pinggang ayah agar tidak terjatuh.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku benar-benar sudah tidak kuat. Rasanya tubuhku lunglai, kepalaku sangat pusing, ada yang mengalir dari hidungku dan segera kuseka dengan tanganku.
Aku sedikit terkejut dengan apa yang ada di tanganku. "Yaah, darah." Kataku pada ayah sambil memandang darah merah pada tanganku tersebut. Seketika itu pandanganku gelap dan sayup-sayup aku mendengar suara ayahku yang memanggil namaku dengan panik.
"Ra, bertahan Nak." Ayah kemudian memegangku agar tak terjatuh. Kemudian aku tak mendengar apa-apa lagi.