Mohon tunggu...
Jumat Tuniah
Jumat Tuniah Mohon Tunggu... Guru - Simple Person

Tebar Kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Cinta untuk Ayah

20 Mei 2022   15:57 Diperbarui: 20 Mei 2022   16:19 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surat Cinta untuk Ayah


Pagi ini dan memang setiap paginya, ayahku selalu mengantarkanku dan adikku, Rafa, ke sekolah dengan motor butut kebanggaanya. 

Setiap aku bertanya kenapa ayah tidak membeli motor yang baru, ayah selalu bilang, bahwa motor ini masih bisa digunakan dan tentunya biaya sekolahku jauh lebih penting. 

Ayahku adalah orang yang selalu mendukung dan memotivasiku untuk menjadi yang terbaik di sekolah. 

Apapun yang aku butuhkan menyangkut pendidikanku, ayah tidak pernah mengabaikannya. Bagi kedua orang tuaku, pendidikan bagi anak-anaknya sangatlah penting. 

Pernah suatu ketika ayah berkata bahwa dia memiliki harapan besar agar aku dan adikku bisa mengenyam pendidikan yang tinggi serta menjadi orang yang sukses kelak, tidak seperti halnya dirinya dan ibuku.

"Udah sampai! " Kata ayah seraya menghentikan motor kebanggaannya tepat di depan pintu gerbang sekolahku. Aku bergegas turun dan meraih tangan ayah serta mencium punggung tangannya.

 "Nara masuk dulu ya, yah" Pamitku sedikit terburu-buru karena pagi ini aku piket kelas.

"Nanti ayah jemput ga, Ra? " Tanya ayah yang jaraknya sudah agak jauh dariku, karena aku sedikit berlari meninggalkannya menuju gerbang.

"Ga usah yah, Nara naik angkot aja! " Aku sedikit mengeraskan suaraku agar memperjelas perkataanku di pagi yang cukup bising itu. 

Sepertinya ayah mendengarku, karena seketika itu ayah menyatukan jempol dan telunjuknya, mengisyaratkan 'ok'. Kemudian, memacu motor kesayangannya lagi untuk mengantar Rafa ke sekolahnya.

Aku kini duduk dibangku kelas XII, sedangkan adikku duduk di kelas VIII. Letak sekolah kami cukup berjauhan. Sehingga ayah harus mengantar kami pagi-pagi sekali. Ayahku bekerja sebagai tukang ojek.

 Setelah mengantarkanku dan adikku, barulah ayah bekerja. ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Kami membuka sebuah warung Kecil tepat di samping rumah. Ibuku membantu perekonomian kami dengan berjualan di warung Kecil tersebut.

Tugas piketku telah selesai. Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Sambil menunggu bel, Aku duduk sejenak di bangkuku. 

Aku merasakan beberapa hari ini badanku sangat lelah. Mungkin aktivitas sekolahku yang cukup menyita waktu dan energi.

Terkadang aku merasakan sakit kepala yang cukup mengganggu, terlebih ketika aku mengikuti pembelajaran di sekolah.

Bel berbunyi. Semua siswa menuju bangkunya masing-masing dan siap menerima pembelajaran pagi ini. 

Turut juga seorang remaja perempuan berkulit coklat dan berambut ikal  meletakkan tubuhnya di bangku tepat disampingku. Aku memanggilnya Eva. Ia sahabat dan sekaligus teman sebangkuku. Ibu Mia, wali kelas kami yang akan mengajar pagi ini.

"Nara! Hidungmu berdarah! " Tiba-tiba saja Eva mengejutkanku dan seisi kelas dengan suaranya yang terdengar cukup keras dan bercampur kepanikan. Segera ia mengambil tisu dari salah satu kantong tasnya dan memberikannya padaku. Aku menyeka hidungku. Tampak darah segar telah membuat tisu tersebut menjadi merah.

" Kamu tidak apa-apa, Ra? " Tanya bu Mia padaku seraya mendekatiku dan memegang bahuku. Nampak ada kekhawatiran di raut wajahnya.

"Saya tidak apa-apa, bu" Kataku. Walaupun sebenarnya aku pun merasa bahwa aku memang sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

" Sebaiknya kamu ke UKS aja ya, Ra" Saran bu Mia padaku.

Sepertinya aku memang butuh istirahat sejenak, karena pusing ini cukup menggangguku sekarang.

"Iya bu" Kataku sambil berdiri dari bangku untuk menuju ke UKS. Baru beberapa langkah aku meninggalkan mejaku, tiba-tiba kepalaku semakin berat dan kakiku terasa susah untuk digerakkan. Seketika pandanganku kosong dan gelap. Aku tidak tau apa yang terjadi setelahnya.

Ketika aku terbangun, aku sudah berada di ruang UKS. Ada Eva dan juga bu Mia disana. Sepertinya suara gaduh dan ributnya siswa sudah tidak terdengar lagi.

"Bagaimana keadaanmu, Ra? " Tanya bu Mia sambil menyodorkan segelas air putih padaku.

"Aku sudah merasa agak mendingan bu" Jawabku agak lemah. Kuraih gelas berisi air putih yang diberikan bu Mia padaku.

Ku minum beberapa tegukan, dan seketika air segar itu menyejukkan kerongkonganku.

"Ibu sudah meminta Eva untuk mengantarmu pulang." Ucap bu Mia. 

Nampak di wajahnya masih Ada kekhawatiran. Aku hanya menganggukkan Kepala. 

Ya, hari itu aku diantar Eva pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Eva menceritakan semuanya pada ibu. Tidak lama setelah itu Eva pamit pulang dan memberikan aku semangat untuk segera sembuh.

Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum seraya mengucapkan terima kasih padanya. Ibu mengantar Eva hingga pintu depan dan juga turut mengucapkan terima kasih pada Eva.

Tiga hari lamanya aku harus berada di rumah untuk memulihkan diri dan tidak mengikuti pembelajaran di sekolah. 

Meski sudah tiga hari berada di rumah, tetapi tetap saja aku merasa tubuhku lemah. Terkadang aku merasa mual dan tidak nafsu makan. Selama aku sakit, ibu dengan sabarnya merawatku sambil melakukan pekerjaan rumah seperti biasanya. 

Adik dan ayahku memberikan semangat padaku agar aku cepat sembuh. Setelah tiga hari berlalu, aku mengumpulkan semangatku untuk bersekolah kembali.

"Ra, bagaimana keadaanmu? Apa kamu sudah baikan?" Eva menanyakan keadaanku sambil mengerutkan keningnya meminta kepastianku.

"Iya, Va. Aku udah merasa baikan kok" Jawabku pada Eva.

"Wajahmu tampak pucat, Ra. Kenapa kamu memaksakan diri untuk bersekolah? "

"Aku merindukanmu, Va. Lagian aku takut kamu kesepian tanpa aku, Va?" Jawabku sekenanya sambil melirik dan tersenyum tipis ke arah Eva.

"Nara... Nara! Aku serius, malah bercanda!" Eva langsung menyilangkan tangannya mengisaratkan sedikit kesal. Aku semakin tertawa melihatnya.

Tidak lama pembelajaran pun dimulai. Bu Mia mengajarkan tentang sel pagi ini. Pembelajaran berlangsung seperti biasanya.

Setiap harinya aku melaksanakan kegiatanku seperti biasanya. Tapi dengan energi yang sangat berbeda. Dan aku merasa sangat lelah.

Keesokan di pagi harinya ketika mematut diri di depan cermin, aku menyaksikan tulang di kedua pipi wajahku semakin menonjol. 

Aku kemudian menimbang berat badanku. Aku sedikit terkejut dengan berat badanku saat ini. 

Nafsu makanku hilang beberapa hari ini. Aku duduk sesaat di ranjangku yang bernuansa putih, ditemani sebuah boneka kucing kesayanganku.

Kuraih boneka itu, kemudian kudekap. Kupandangi foto keluarga kecilku yang terpampang di atas meja belajarku. Terlukis kebahagiaan disana. Orang-orang yang kucintai.

"Ra! " Ayah memanggilku. Pertanda waktunya berangkat ke sekolah.

"Iya, yah! " Segera kuletakkan boneka kucingku disamping bantal putihku dan segera meraih tasku menemui ayah.

"Ra, kamu pucat sekali, nak" Ibu memandang wajahku. Ayah turut mengamatiku.

"Nara ga apa-apa kok, bu. Nara baik-baik aja. " Kataku agar ibu tidak khawatir.

"Ayo, Yah! Nanti Nara terlambat ke sekolah. " Pintaku pada ayah.

Selama perjalanan ke sekolah, rasanya pusing kepalaku semakin menjadi. Pusing yang kualami semakin tidak tertahan. Aku berusaha sekuat tenaga memegang pinggang ayah agar tidak terjatuh.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku benar-benar sudah tidak kuat. Rasanya tubuhku lunglai, kepalaku sangat pusing, ada yang mengalir dari hidungku dan segera kuseka dengan tanganku.

Aku sedikit terkejut dengan apa yang ada di tanganku. "Yaah, darah." Kataku pada ayah sambil memandang darah merah pada tanganku tersebut. Seketika itu pandanganku gelap dan sayup-sayup aku mendengar suara ayahku yang memanggil namaku dengan panik.

"Ra, bertahan Nak." Ayah kemudian memegangku agar tak terjatuh. Kemudian aku tak mendengar apa-apa lagi.

Kubuka mataku, dan kulihat sekelilingku. Sepertnya aku berada di sebuah ruangan di sebuah rumah sakit. 

Disana nampak ibuku yang sedang duduk disisiku sambil menangis. Ayahku mencoba menenangkan ibu. Terlihat pula adikku Rafa yang sedang berdiri memandangku. Tatapan mereka terhadapku penuh kekhawatiran.

"Bu, ibu kenapa menangis? " Tanyaku. Aku kebingungan. Apa sebenarnya yang terjadi? 

Ada apa denganku? Semua pertanyaan itu memenuhi benakku. Ibu semakin sedih dengan pertanyaan ku itu. Dan itu menambah kebingunganku.

"Ayah, kalian kenapa menatapku begitu? Aku kenapa? " Aku kembali bertanya pada ayah. Tidak jauh berbeda dari ibu, ayah pun tidak menjawab pertanyaaku.

"Nara, sebaiknya kamu istirahat dulu aja ya. Nara harus banyak istirahat biar cepat pulih. " Kata ayah sembari menghapiriku dan mengusap-usap rambutku. 

Aku pun mencoba menuruti perkataan ayah. Tubuhku memang masih lemah. Sepertinya aku butuh tidur. Aku berharap cepat keluar dari rumah sakit ini. Aku tidak menyukai aromanya, bau obat yang menyengat membuat ku tak nyaman.

Esok harinya, bu Mia dan beberapa temanku yang lain menjengukku di rumah sakit. Tidak ketingglan Eva juga ikut serta. 

Mereka memberiku semangat dan motivasi agar cepat sembuh. Aku harap secepatnya aku bisa bersekolah lagi dan bersenda gurau dengan mereka. 

Dua jam lamanya mereka menemaniku, dan kemudian bu Mia dan teman-teman pamit pulang. Sekarang aku kembali sepi. Tapi tidak apa-apa, aku cuma sebentar saja di rumah sakit ini. Pikirku.

Beberapa hari di rumah sakit, aku merasa tubuhku semakin lemah. Pusing dan mual menjadi-jadi. Lagi-lagi aku mimisan. Kali ini darah yang mengucur semakin banyak. 

Tubuhku lemas, seakan semua tenagaku tiba-tiba menghilang.

"Ibuuuu... " Aku memanggil ibu dengan suara lemah. Ibu segera menghampiriku.

"Suster... Suster!! " Ibu sedikit berteriak memanggil Suster. Tidak lama suster pun datang.

Suster tersebut melakukan tugasnya. Suster juga membantu membersihkan dan berusaha menghentikan darah yang mengalir dari hidungku. Aku terkulai lemah di ranjangku. Sambil berbaring, aku bertanya pada suster "Suster, apakah penyakitku parah?"

Suster kemudian memandang pada ibu. Ibu tidak memberikan satu kata pun. Hal ini membuatku semakin bertanya-tanya. Ada apa denganku? Selesai melaksanakan tugasnya, suster tersebut keluar ruangan.

Setelah suster berlalu, aku menoleh dan menatap ibu dengan penuh rasa ingin tahu, aku kenapa? Ibu menggenggam erat tanganku. Ingin aku berteriak rasanya, kenapa mereka diam. Aku berhak tau tentang kondisiku saat ini.
"Ibu??! " Ada air mata mengalir dipipiku. 

"Tolong jawab, bu. Nara sebenarnya kenapa? Apa penyakit Nara parah, bu? Tolong kasih tau Nara?" Pintaku sambil membalas pegangan erat ibuku.

Sambil menangis, ibu bilang padaku "Ra, kamu mengidap leukemia akut"

Usai mengucapkan kalimat itu, tubuh ibu bergetar. Ia mencoba menahan tangisnya. Tapi itu sia-sia. Aku pun terkejut mendengarnya. Seketika aku tidak mempercayai ini semua. Akankan semuanya usai? Apakah aku akan mati? Aku akan meninggalkan orang-orang yang aku sayang? Secepat inikah aku...

Aku membisu dan terpaku. Air mataku berderai tak berhenti. Ibu menangis sejadi-jadinya, kemudian berdiri di samping ranjangku dan meraih pundakku, memelukku. "Sayang, yang sabar ya. Kuatkan dirimu. " Terdengar suara ibu di telingaku seperti setengah berbisik.

Dokter menyarankan untuk melakukan kemoterapi. Seketika itu, aku membayangkan biaya yang ditanggung untuk pengobatan ini. Aku benar-benar serasa runtuh. Terbayang seketika wajah ibu dan ayah. Aliran air mataku kembali membanjiri pipiku.

"Nara ga usah khawatir, ayah akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari biaya pengobatan Nara. 

" Ayah mencoba menenangkanku sambil menyentuh bahuku. Ayah... Ucapan itu hanya bisa kuucapkan di hati karena bibirku sudah tak sanggup lagi berkata apa-apa.

Aku tahu, ayah memikul beban yang sangat berat.

Eva datang membawa sekeranjang buah dan meletakkannya di atas meja di samping ranjangku.

"Hai, Nara! " Ucap Eva, sambil memelukku. Aku membalas pelukannya. Kemudian Eva melepaskannya dan melemparkan senyuman padaku.

"Nara kok sedih? Kamu ga senang ya aku datang? " Katanya cemberut. Aku tersenyum padanya.

" Ya ga lah, Va. Aku senang kamu ke sini, apa lagi bawa buah banyak. Kan aku suka. Serin-seringlah datang. Bawa buah tangan yang banyak. "Candaku.

" Tadi sih mau bawa tokonya sekalian" Timpalnya. Aku tersenyum lagi.

Sejenak kami terdiam. Terlihat Eva memandangku dengan iba.

"Ra, wajahmu pucat sekali. Kamu terlihat kurus, Ra. Ayolah makan yang banyak, biar berat badanmu balik lagi. Cepat sembuh, biar kita bisa bareng lagi di sekolah, Ra" Kata Eva memberikan saran padaku.

"Sembuh?... Aku ingin, Va... Tapi.... " Aku tidak melanjutkan kalimatku.

"Tapi apa, Ra? "

"Tapi.. Aku ga yakin, Va. "

"Aku kena leukemia, Va" Jawabku. Mataku berkaca-kaca kembali.

"Kamu bercanda kan, Ra? " Eva sambil memegang kedua pundakku. Tampak wajahnya terkejut dan tidak percaya.

"Iya, Va. Aku serius" Seketika air mataku mengalir tak terbendung. Saat itu pula Eva memelukku. 

"Yang sabar ya, Ra. Kamu yang tenang. Kamu harus kuat. Kamu harus sembuh. " Eva masih memelukku dan mengusap punggungku mencoba menenangkanku.

Kemoterapi aku jalani. Obat-obatan yang ingin aku hindari kini menjadi bagian di setiap hariku. 

Ayah selalu kembali ketika hari sudah larut malam. Ayah mencari uang dari pagi hingga malam. Ibu menjagaku siang malam. Aku semakin tidak berdaya. Hari-hari kulewati di rumah sakit. Aku ingin pulang. Aku meminta ibu untuk pulang.

 Tapi ibu terlalu menghawatirkan keadaanku. Tapi keinginanku untuk pulang sangatlah besar.

Karena desakanku setiap hari, membuat ayah dan ibuku mengalah. Aku akan pulang ke rumah. Ibu mengemas semua barang-barangku. 

Dan tidak lama kemudian telah sampailah kami ke  rumah yang aku rindukan. Setiba di rumah, aku langsung membuka pintu kamarku. 

Kamarku telah tertata tapi. Ibu yang merapikannya untukku. Boneka kucingku masih di sana, disamping bantal kesayanganku. Kuraih boneka kucingku, dan kudekap. Aku duduk di meja belajarku. Lama aku tidak berada di sana. 

Aku rindu dengan segala aktivitasku. Pandanganku tertuju pada sebuah buku catatan yang tergeletak di pojok meja belajarku. 

Kuambil buku itu, kemudian aku buka. Terlihat catatan-catatan harianku yang tertulis dengan rapi . Teringat kembali akan masa-masa indahku yang aku goreskan di tiap lembarnya. Aku terus membuka lembar demi lembar catatan itu, hingga aku pada akhirnya berada pada lembaran yang masih kosong. Kuambil sebuah pena dan aku mulai menulis pada lembaran kosong tersebut.

Malam ini kali pertama kami makan di meja makan bersama di rumah yang aku rindukan. Kulihat ayah mencoba bersikap biasa saja. Walaupun aku tahu sebenarnya ayah mencoba agar aku tidak terlalu sedih dengan keadaanku sekarang. Ayah mencoba agar aku tetap kuat.

Ibu kali ini memasak hidangan kesukaanku. Kami pun berdoa bersama sebelum memulai untuk makan. Setelah berdoa, aku mengambil sendokku dan mulai menyendoki makananku ke mulut. Hening, hanya bunyi sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.

Kupandangi satu  per satu dari mereka yang ada di hadapanku. Mulai adikku Rafa. Aku berharap kelak ia bisa menjadi seseorang yang bisa diandalkan dalam keluarga ini. Menjadi kebanggaan keluarga dan juga bisa menjaga ayah dan ibu. Sambil memasukkan sendok ke mulutku, aku kembali memandang ibu. Kulihat wajah sedihnya yang sekuat tenaga ia sembunyikan.

Ibu adalah wanita sabar dan penyayang. Bagiku ibu adalah sosok hebat. Aku bersyukur pada Tuhan telah mengirimku ke dunia melalui wanita hebat ini. Aku terasa haus, kuraih segelas air yang telah tersedia. 

Ku teguk perlahan dan kini aku menatap ayah. Sesaat aku teringat akan masa kecilku yang selalu ditemani ayah ketika bermain dan bersenda gurau. Ayah selalu menyempatkan waktunya untukku. 

Mengajarkanku bersepeda, menemaniku bermain, mengantarkanku ke sekolah dan juga menjemputku dari sekolah, mengambilkan rapor untukku, memberikan semangat ketika aku lemah, mendukungku ketika aku terpuruk, menghiburku ketika aku bersedih. Tapi aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu ayah.

Mataku kini mulai berkaca-kaca lagi. Kupercepat makanku. Aku takut kalau mereka melihatku bersedih lagi. Mereka tidak boleh ikut bersedih lagi. Cukup aku saja.  Aku ingin mereka bisa tersenyum dan bahagia lagi.

Malam ini aku sudah tidur di kamarku. Sebelum tidur aku meraih buku catatan harianku di meja. Dibuku itu lah aku menulis semua rasaku, hariku, apa pun yang ingin aku tuliskan tentang diriku. Setelah itu kulanjutkan dengan tidur. Kutarik selimutku, kupadamkan lampu kamarku dan kupejamkan mataku.

Hari-hari berlalu begitu cepatnya, sampai pada suatu pagi yang cerah. Aku terbangun mendengar suara merdu kicauan burung kala itu. Kemudian aku membuka jendela kamarku. Ibu sengaja tidak membangunkanku di pagi itu. Ayah sudah berangkat dengan motor kesayangannya untuk mengantar Rafa ke sekolah. 

Kupandangi suasana  pagi di luar melalui  jendela kamarku. Kuhirup dalam-dalam udara segar pagi ini. Berharap setiap hari ke depannya aku masih bisa merasakannya.
Kujalani hari seperti biasanya.

 Beraktivitas semampuku, karena sebagian besar tenagaku seakan menghilang begitu saja. Obat-obat yang begitu banyaknya selalu aku konsumsi setiap harinya. Kini rambutku juga telah rontok. Aku masih berharap bisa sembuh dari sakitku ini. Walaupun aku tidak begitu yakin.

Aku berniat pergi ke kamar mandi. Pikirku mungkin segar jika mandi sekarang. Baru aku ingin mengambil handuk, tiba-tiba kepalaku sangat sakit. Darah kembali keluar dari hidungku. 

Seketika itu aku terjatuh dan aku tidak sadarkan diri.

Aku terbangun, dan lagi-lagi aku terbaring di rumah sakit. Kali ini aku semakin tak berdaya. Aku kini pasrah pada Tuhan jika ia ingin mengambilku. 

Aku telah ikhlas jika Tuhan telah memilihkan waktu untukku menghadapNya. Dan tiba waktunya...

Di hari itu, adalah saat dimana Tuhan akan memanggilku. Cuaca hujan rintik ketika itu. Semua keluargaku berkumpul mengelilingiku, bahkan bu Mia Dan Eva pun datang. 

Aku mengucapkan permintaan maaf pada semua orang yang ada pada waktu itu dengan mengandalkan sisa tenaga yang aku miliki. Ibuku berderai air mata, kulihat ayahku pasrah. Walaupun ku tahu betapa hancur hatinya. 

aaf kan aku ayah. Tubuhku semakin lemah, mataku kini tak kuat kubuka. Setelah itu aku hanya merasakan gelap. Suara tangis yang pecah disertai dengan memanggil namaku berangsur-angsur terdengar memelan dan setelah itu menghilang.

Pagi itu, setelah beberapa hari seusai pemakaman, Eva mengunjungi rumah Nara. Perlahan ia mengetuk pintu. 

Tidak lama seorang ibu membukakan pintu dan Eva disambut dengan ramah. Eva ingin menyerahkan catatan harian milik Nara.

Sebelum meninggal, Nara meminta Eva untuk menyerahkannya kepada ayahnya. Eva mengeluarkan buku catatan itu dari dalam tas kecilnya. Ibu itu memanggil suaminya yang kemudian laki-laki  itu ikut bergabung duduk di sofa bersama Eva dan ibu Nara. 

Laki-laki itu adalah ayah Nara. Eva menyerahkan buku harian itu kepada ayah Nara. Ayah Nara membuka selembar demi selembar buku tersebut. Bahunya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. 

Tangannya masih  membuka lembar demi lembar, sampai pada akhirnya ia pada lembar paling akhir. Dalam hati ia mulai membacanya.

Surat cinta untuk ayah

Dia....

Seorang lelaki sabar yang selalu memikul tanggungjawab besar

Lelaki yang tidak pernah mengeluh, bahkan selalu menguatkanku

Lelaki yang tidak pernah menangis di depanku, meski ia terluka hebat

Lelaki yang berusaha tersenyum padaku, meski aku tahu hatinya teriris.

Lelaki yang selalu membuatku  belajar tentang banyak hal, bahkan tentang cinta

Seorang lelaki yang kucintai sampai ke relung  hatiku hingga  di akhir hidupku.

Lelaki sederhana....

Lelaki terhebat...

Dia adalah ayahku...

Nara mencintaimu... Ayah.

Maafkan Nara....

Ayah tidak Perlu khawatirkan Nara lagi. 

Jika Nara dipanggil Tuhan suatu saat nanti. Nara siap, karena Nara ga akan merasakan sakit lagi. 

Nara sudah sangat bahagia dengan apa yang Nara terima dalam hidup Nara. Menangislah jika ayah ingin, mengeluh lah jika ayah perlu, ceritakanlah semuanya. 

Karena Nara, Rafa Dan ibu akan selalu tetap mencintai ayah  apa Adanya.

Anakmu,

Nara

Seketika bahu ayah Nara berguncang hebat, air matanya mengalir tak terbendung

Tangannya memegang dengan kuat buku catatan yang ada di pangkuannya. 

Sesekali ia menyeka air matanya yang mengalir. Tampak kesedihan yang amat dalam dari wajahnya. 

Ibu Nara Dan Eva mencoba menenangkannya dan menguatkannya.

Pagi itu, suara-suara merdu kicauan burung itu masih terdengar, dan udara segar yang berhembus pun masih sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun