Hari-hari berlalu begitu cepatnya, sampai pada suatu pagi yang cerah. Aku terbangun mendengar suara merdu kicauan burung kala itu. Kemudian aku membuka jendela kamarku. Ibu sengaja tidak membangunkanku di pagi itu. Ayah sudah berangkat dengan motor kesayangannya untuk mengantar Rafa ke sekolah.Â
Kupandangi suasana  pagi di luar melalui  jendela kamarku. Kuhirup dalam-dalam udara segar pagi ini. Berharap setiap hari ke depannya aku masih bisa merasakannya.
Kujalani hari seperti biasanya.
 Beraktivitas semampuku, karena sebagian besar tenagaku seakan menghilang begitu saja. Obat-obat yang begitu banyaknya selalu aku konsumsi setiap harinya. Kini rambutku juga telah rontok. Aku masih berharap bisa sembuh dari sakitku ini. Walaupun aku tidak begitu yakin.
Aku berniat pergi ke kamar mandi. Pikirku mungkin segar jika mandi sekarang. Baru aku ingin mengambil handuk, tiba-tiba kepalaku sangat sakit. Darah kembali keluar dari hidungku.Â
Seketika itu aku terjatuh dan aku tidak sadarkan diri.
Aku terbangun, dan lagi-lagi aku terbaring di rumah sakit. Kali ini aku semakin tak berdaya. Aku kini pasrah pada Tuhan jika ia ingin mengambilku.Â
Aku telah ikhlas jika Tuhan telah memilihkan waktu untukku menghadapNya. Dan tiba waktunya...
Di hari itu, adalah saat dimana Tuhan akan memanggilku. Cuaca hujan rintik ketika itu. Semua keluargaku berkumpul mengelilingiku, bahkan bu Mia Dan Eva pun datang.Â
Aku mengucapkan permintaan maaf pada semua orang yang ada pada waktu itu dengan mengandalkan sisa tenaga yang aku miliki. Ibuku berderai air mata, kulihat ayahku pasrah. Walaupun ku tahu betapa hancur hatinya.Â
aaf kan aku ayah. Tubuhku semakin lemah, mataku kini tak kuat kubuka. Setelah itu aku hanya merasakan gelap. Suara tangis yang pecah disertai dengan memanggil namaku berangsur-angsur terdengar memelan dan setelah itu menghilang.
Pagi itu, setelah beberapa hari seusai pemakaman, Eva mengunjungi rumah Nara. Perlahan ia mengetuk pintu.Â