Pendahuluan
Semenjak saya masih duduk di bangku sekolah menengah hingga sekarang di masa perkuliahan teologi, saya suka mengikuti serial komik berjudul One Piece. Hal tersebut dikarenakan cerita dalam komik tersebut yang tak kunjung usai mulai tahun 1999, yang memiliki jalan cerita menarik dan tidak terduga hingga sekarang.
Awal cerita dalam komik tersebut adalah proses eksekusi raja bajak laut yang telah menyerahkan dirinya untuk ditangkap oleh angkatan laut. Raja bajak laut tersebut telah memiliki kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan yang tak tertandingi. Lalu sebelum kepala raja bajak laut tersebut terpotong, ia mengucapkan kata-kata terakhirnya kepada orang-orang yang menyaksikan proses eksekusi dirinya di lapangan terbuka.
Kata-kata yang ia ucapkan sebagai berikut; “harta karunku? (kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan) semuanya itu akan kuberikan kepadamu. Tapi, carilah aku menyembunyikan semuanya di tempat itu”. Setelah mengucapkan kata-kata terakhir tersebut sang raja bajak laut dieksekusi mati, tetapi dimulai dari hari itu juga, era bajak laut telah dimulai.
Menarik sekali ketika era bajak laut dimulai dikarenakan iming-iming ketiga hal tersebut, yaitu kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan. Semua orang ternyata berbondong-bondong berlayar ke laut untuk mencari ketiga hal tersebut.
Saya rasa ketiga hal tersebut adalah sesuatu yang fundamental dan memang selalu dicari-cari oleh kebanyakan orang sampai sekarang. Pembahasan mengenai kekayaan, kemasyuran, dan kekuatan ternyata memang sangat populer untuk dibahas. Perikop yang saya angkat dalam penulisan paper ini juga berkaitan dengan kemasyuran, kekayaan dan mungkin juga kekuatan.
Tetapi secara khusus Pengkhotbah 6: 1-12 adalah perikop pembacaan yang menurut Emmanuel Gerrit Singgih masuk dalam kategori tema; “Percuma mengandalkan kealiman, birokrasi dan kekayaan”.[1] Sekilas ketika membaca perikop Pkh 6: 1-12 ini memang semuanya berisi tentang komentar-komentar Kohelet tentang hal-hal tersebut,
dan seperti judul tema yang diberikan EGS ketiga hal tersebut adalah percuma untuk diandalkan. Tetapi bukankah terkadang ketiga hal tersebut justru menjadi penyemangat bagi orang-orang untuk menjalani hidupnya. Dari sini saya akan menggali bagaimana ketiga hal tersebut dapat dijadikan landasan oleh manusia untuk menjalani hidupnya,
apakah hal tersebut dimungkinkan? Yang jelas belum tentu hal tersebut memang bisa dijadikan patokan untuk penyemangat hidup. Kalau begitu apakah begitu keji manusia yang memperjuangkan hal-hal itu? Sehingga kohelet menyampaikan perkataan-perkataan yang negatid terkait orang-orang yang mendapatkan hal-hal tersebut.
- Konteks spesifik perikop pengkhotbah 6: 1-12