“Sudah bangun? Oh, baru. Jam berapa di situ? Di sini baru jam tujuh. Iya, aku tahu. Baru lusa kami berangkat, Rat! Aku belum tahu plan si Nara atau rundown dari YNL. Kata Linnie yang jadi LO-nya YNL, nanti mungkin ada guide yang membantu. Aku menyesal enggak bawa peralatan panjat. Soalnya pasti perlu.”
Aku keluar dan mencari-cari kunci di atas meja kerja dan kutemukan di sela tumpukan kertas. Sekilas kulirik ia tidak terganggu dengan kemunculanku dan berulangkali bicara sambil tertawa, suatu hal yang jarang ia tunjukkan dulu.
“Si Kakak enggak mau sekolah? Masih tidur sekarang? Itu biasa, anak umur segitu. Enggak usah khawatir. Jaga kesehatan, ya! Kasihan si kecil kalau ibunya kebanyakan mikir. Kamu di rumah atau di rumah Oma? Oh… Oma mau check-up ke rumah sakit? Siapa yang antar? Oh, okay! Ya, sudah. Hati-hati, ya! Iya! Iya, aku tahu! Aku enggak lupa. Enggak, aku enggak merokok. Suer! Sudah, ya! Nara baru bangun. Nanti kutelpon lagi siang-siang. Byee!”
Ia mematikan ponsel dan meletakkannya di coffee table samping sofa.
“Pagi sekali Ratih bangun. Gue kira dia tipe nyonya besar,” Aku berkomentar. “Di mana dia?”
“Ratih di rumah nyokap lo,” sahutnya masih tersisa tawa. “Sepi di rumah. Nyokap lo hari ini check up rutin ke rumah sakit.”
“Apakah parah?” tanyaku sedikit terkejut. “Terakhir, Bunda kasih tahu lututnya sakit dan agak bengkak karena asam urat.”
“Sejauh ini dia masih rutin berobat. Saat elo pulang, elo bisa lihat sendiri keadaannya. Adik lo juga sekarang rajin berkunjung. Anaknya bertambah satu bulan Maret kemarin. Di rumah lo ramai. Nyokap jadi enggak kesepian.”
It’s weird. Aksan dan Ratih menjadi akrab sekali dengan keluargaku. Aku bahkan tidak akrab dengan adikku. Kami terlalu berbeda jauh. Diam lebih baik daripada bertengkar. Setidaknya aku hanya rajin bertengkar dengan satu orang, yaitu Bunda. Saat aku tidak ada, tentu Bunda kesepian. Aku pun terkadang merasa kangen mendengar petuah-petuahnya yang menyuruhku bersikap lebih perempuan.
“Thanks, ya!” kataku.
Aksan mengerutkan dahi. “Untuk apa?”