Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Gerimis Pagi (Bab 10)

27 Desember 2013   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pernah membaca tulisan-tulisan itu. Malah aku terlalu ingat isinya. Mulanya banyak puisi. Mulanya kata-kata asing yang tidak kutahu artinya. Lalu si penulis menuliskan lebih banyak hal lagi, seperti daftar tempat yang ia ingin datangi, daftar gunung yang ingin ia daki, daftar bahasa yang ingin ia pelajari. Si penulis juga menuliskan perasaan cintanya pada seorang perempuan. Perempuan itu di matanya seperti matahari yang bercahaya. Ia jatuh cinta saat bertemu perempuan itu di SMA, bersahabat dengannya dan terlalu malu menyatakan cinta. Perempuan itu tidak percaya cinta.

Perempuan yang bodoh, pikirku.

Si penulis menceritakan bagaimana sahabatnya yang lain juga menyukai perempuan itu dan ia yang terlalu menghargai persahabatan memilih mundur. Tapi perasaan cintanya semakin dalam saat ia coba membunuhnya. Ia memimpikan matahari terbit. Ia memimpikan perempuan itu di puncak-puncak tinggi.

Ia belajar menyatakan cintanya. Pertama dengan memberi perempuan itu air terjun. Kedua dengan mengajak perempuan itu mencari matahari terbit di puncak tinggi. Ketiga dengan memberinya bunga Edelweiss. Keempat… Kelima… Rasa cinta membuatnya bertekad memberikan banyak hal pada perempuan itu.

Lambat laun ia merasa lelah—karena kekasih tercintanya tak kunjung membalas perasaannya. Perempuan itu tidak percaya cinta.

Perempuan yang benar-benar bodoh, pikirku.

Si penulis belajar menyatakan cintanya pada perempuan lain, sahabat si perempuan itu. Lagi-lagi ia ditolak. Kali ini, ia bersyukur. Cintanya pada perempuan yang pertama begitu besar, sadarnya. Akhirnya satu keputusan besar diambil demi menambal luka. Ia memutuskan untuk menghilang dari pandangan perempuan itu.

Benar-benar bodoh, pikirku. Cinta membuat orang jadi bodoh.

Goretan tinta itu semakin lama semakin memudar dan berakhir dalam titik-titik yang hilang makna. Puisi mengenang si penulis kutambahkan di halaman akhir.

—tanah pun berderai dari langit biru
mengeja kita akan nama waktu, rindu dan sendu
manakala malam yang lelap dan siang berpesta atas perih
luka itu lebur dalam tiupan angin
debu itu singgah di mata dan jadi mutiara kaca

—tanah pun mengurai dalam gelombang
mengucap salam perpisahan kita akan nama tempat di masa lalu
manakala selimut bintang dan kalam menjelma
hari berpesta atas pedih
sakit itu menyublim bersama embun
mutiara kaca terbang dan jadi goresan kata-kata di angkasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun