Ratih tertawa. “Cukup dua aja. Bisa jebol kantong kalau punya anak banyak. Yang ini sudah di-USG, kelaminnya perempuan. Pas jadinya.”
“Selamat, ye!”
“Elo juga harus coba ngerasain sekali-kali enaknya jadi nyokap, Ra!”
“Semprul!” Aku tidak bisa bayangkan diriku hamil dan punya anak seperti Ratih. Bahkan aku tak yakin bisa jadi ibu yang baik. Aku bukan tidak suka anak-anak. Tapi, banyak anak di tempat-tempat yang kudatangi tidak memiliki nasib beruntung memiliki ibu yang mengasihi mereka. Mereka menunggu ajal dengan tubuh tak berdaya akibat kelaparan dan kekurangan gizi. Penyakit apapun dengan mudah menghinggapi. Aku sendiri sulit sekali terlalu mengasihi mereka. Rasa yang kucari tidak kutemui di antara wajah-wajah mereka.
“Ra, nanti atau besok gue telpon lagi, ya! Anak gue ngambek enggak mau sekolah. Katanya sekolahnya enggak asyik. Ia enggak suka teman-temannya. Suruh Aksan masak yang banyak. Dia itu ternyata diam-diam jago, loh! Habis sudah gue seperti sapi gendut tukang cicip kalau dia turun ke dapur.” Percakapan terputus.
Aku termenung dan terkenang aku juga pernah seperti itu—tidak suka sekolah. Sampai gue ketemu dengan mereka. Kuberikan ponsel itu pada si lelaki dan duduk di salah satu kursi. Di hadapanku, sepiring nasi goreng hangat terhidang menanti disantap. Tak lama lelaki itu duduk berseberangan denganku.
“Elo enggak makan?”
“Sejak kapan elo bisa masak?”
“Banyak yang enggak elo tahu tentang gue.”
“Apa enak?”
“Coba saja. Gue hanya pakai telor dan bakso ikan yang ada di kulkas. Ratih pasti ngamuk melihat elo kurus kering begini.”