Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Gerimis Pagi (Bab 10)

27 Desember 2013   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

###

Saat aku keluar dari kamar, lelaki itu masih ada di dapur. Ternyata kehadiran dia pun bukan mimpi, desahku kecewa. Ia sedang mengenakan apron dan memasak sesuatu di atas kompor. Aku melihat isi rucksack miliknya sudah dikeluarkan sebagian dan diletakkan di rak kosong tak jauh dari jendela. Laptop hitam yang kupikir itu miliknya sudah menyala di atas meja, di samping Macbook milikku. Mungkin Linnie memberitahukan password jaringan Wifi internet gratis dari pihak pengelola gedung flat yang kutinggali.

Suara ringtone ponsel tiba-tiba berbunyi. Lelaki itu mematikan kompor dan membalikkan badan. Kami berhadapan dan saling berpandangan dengan perasaan ganjil yang sulit kujabarkan dengan kata-kata—antara rasa kangen dan sekaligus benci. Lelaki itu tersadar dengan ponselnya. Ia mencari benda itu di atas sofa. Aku lalu melongok ke atas kompor dan takjub dengan apa yang kutemui. Nasi goreng. Baunya harum. Perutku segera berkruyuk-ria menanggapinya. Tanganku terjulur hendak menjawil sedikit.

“Cuci tangan dulu!” jerit lelaki itu. Aku segara menarik tangan dan menahan diri dari dorongan rasa lapar.

Ponsel berdering lagi dan segera kudengar suaranya memenuhi ruang.

“Halo? Iya, sorrriii! Aku tadi lupa naruh. Sorry lama! Buset, pagi-pagi jangan ngomel begitu, bu! Iya. Iya, ngerti. Ini ada orangnya. Kamu mau ngomong nggak?”

Lelaki itu memanggilku, namun aku tidak menyahut dan malah mengambil botol air dari kulkas. Ia lalu mendekat dan segera menempelkan ponsel di telingaku. Sejenak, aku merasa kesal sikapnya itu karena seingatku ia selalu seperti ini sejak dulu—selalu otoriter dan memaksakan kehendak. Apa dia tidak menyadari aku enggan menghadapi siapa pun dari masa lalu?

“Ini Ratih,” katanya.

Aku menerima ponsel itu dengan mangkel.

“Halo?”

Satu jeritan panjang yang familier membuatku jengah. Jeritan itu menyambung dengan ocehan perempuan panjang lebar mengomel. “Nara, elo itu, ya! Elo enggak tahu gue dan Bunda sudah mempersiapkan pesta kepulangan elo. Eh, mendadak seenak jidat lo dibatalin! Elo tau enggak…” Bla…bla…bla… Aku terkenang caranya bicara, alisnya yang sedikit naik, gayanya yang manja dan omelan itu selalu berakhir dengan tuntutan aneh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun