Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Gerimis Pagi (Bab 10)

27 Desember 2013   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Coret-coretan bab 10

Lelaki itu sedang melakukan semuanya—mengolesi tanganku dengan salep obat luka bakar dan membalutnya dengan kain kasa. Setelah selesai, ia pergi ke dapur dan membereskan cangkir dan tumpahan kopi yang meluap ke lantai. Aku masih belum pulih dari rasa terkejut. Linnie memberikanku segelas air dan aku meminumnya sampai tandas. Ia bertanya apakah aku baik-baik saja dan kujawab baik. Aku tak ingin Linnie tahu.

Tahu lelaki ini dari masa lalu.

Jantungku belum lagi reda melompat-lompat, saat lelaki itu menyodorkan secangkir teh manis hangat yang dibuatnya dan menyuruhku minum.

“Hati-hati! Itu panas!” katanya mengingatkan. Suara lelaki itu. Entah bagaimana aku tak mengenalinya. Wajahnya juga banyak berubah. Aku sama sekali menemukan sosok yang berbeda dari yang pernah kukenal. Apakah waktu dapat mengikis ingatan sedemikian mudah? Ataukah aku memilih untuk mengingat hal-hal yang kumau saja?

Linnie menerima panggilan masuk di ponselnya dan bergegas pamit pulang. Lelaki itu mengantarkannya turun. Saat mereka pergi aku tertegun dalam kesunyian.

“Nara!” panggil seseorang. Aku menoleh ke samping. Sosok itu. Hanya dia yang masih kuingat dengan jelas dalam ingatan. “Lo lihat, kan! Ini sebuah kejutan yang baik.”

Aku mengangguk pelan.

Sosok itu tersenyum lebar. “Elo seharusnya senang, Ra? Elo bisa tahu kabar Bunda dan Ratih. Mereka semua merindukan elo.”

“Gue tahu.”

“Lantas apalagi?”

“Apanya?”

“Apa lagi yang elo tunggu? Pulanglah, Ra!”

Lelaki itu kembali. Ia menatapku lama dari depan pintu. Sosok yang di sampingku bergerak ke arahnya. Sekarang mereka berdua berdiri bersisian. Seingatku mereka sama-sama memiliki tubuh yang tinggi dan bahu yang bidang. Aku masih ingat sosok itu lebih tinggi sedikit dari si lelaki. Rambutnya ikal memanjang seperti sulur benalu. Sedangkan si lelaki lebih suka memotong rambutnya pendek, sepanjang-panjangnya hanya seleher.

Ah, ternyata aku belum lupa.

Sosok itu masih tersenyum memandangku. Si lelaki tidak. Tapi keduanya memiliki sorot mata yang membangkitkan kerinduan. Rindu yang menyakitkan sebenarnya. Aku tahu apa yang akan terjadi saat aku membiarkan masa lalu kembali datang padaku. Jika saja masa lalu benar-benar ada, pertemuan saat ini tentu tak mungkin terjadi.

Aku bangkit dan mengunci diriku di kamar. Cangkir teh yang tadi sama sekali tidak kusentuh. Selama tidurku yang tidak nyenyak, kenangan menyambangiku bersama kegelisahan. Sosok itu sedang menuliskan kata-kata bertinta emas dalam kegelapan. Tiba-tiba api menjilat-jilat semuanya dan aku menjerit berusaha memadamkannya.

Dalam kegelapan kudengar napasku memburu cepat. Aku terjaga. Pintu kamar diketuk kencang. Suara lelaki itu keras dibaliknya. “Nara! Nara! Elo enggak apa-apa?” Aku menyembunyikan diri dalam selimut dan enggan bersuara.

Lalu menjelang subuh aku yang masih terjaga bangkit dan mengendap-endap keluar. Tenggorokanku kering karena haus. Kudengar dengkur pelan dari sofa. Lelaki itu tidur di sana. Aku segera melesat ke dapur, mencari botol air dingin di kulkas dan menuangnya ke dalam gelas. Suara gelas beradu dengan logam kitchen sink terdengar nyaring memecah sunyi. Lelaki itu terbatuk sekali sehingga aku menahan napas dan berpikir apa reaksinya saat terbangun. Namun rupa-rupanya ia kembali tertidur. Aku menghembuskan napas lega dan segera kembali ke kamar.

Saat kantuk akhirnya menyerang lagi, aku berharap ini semua mimpi. Berharap lelaki itu pun hanya ilusi. Berharap “jika” lenyap dan aku kembali menikmati masa lalu tanpa kesedihan. Banyak hal kuharapkan. Tapi kesenangan seperti menyambut Natal di berbagai film barat tidak pernah singgah dalam kehidupanku.

###

Ini bukan ilusi. Bukan mimpi. Tulisan-tulisan bertinta emas itu perlahan-lahan menjadi tulisan biasa di atas kertas, di dalam sebuah mini organizer yang berisi banyak benda. Foto si penulis. Bunga Edelweiss. Slayer motif warna hitam dengan bordiran benang merah tertulis namanya.

Aku pernah membaca tulisan-tulisan itu. Malah aku terlalu ingat isinya. Mulanya banyak puisi. Mulanya kata-kata asing yang tidak kutahu artinya. Lalu si penulis menuliskan lebih banyak hal lagi, seperti daftar tempat yang ia ingin datangi, daftar gunung yang ingin ia daki, daftar bahasa yang ingin ia pelajari. Si penulis juga menuliskan perasaan cintanya pada seorang perempuan. Perempuan itu di matanya seperti matahari yang bercahaya. Ia jatuh cinta saat bertemu perempuan itu di SMA, bersahabat dengannya dan terlalu malu menyatakan cinta. Perempuan itu tidak percaya cinta.

Perempuan yang bodoh, pikirku.

Si penulis menceritakan bagaimana sahabatnya yang lain juga menyukai perempuan itu dan ia yang terlalu menghargai persahabatan memilih mundur. Tapi perasaan cintanya semakin dalam saat ia coba membunuhnya. Ia memimpikan matahari terbit. Ia memimpikan perempuan itu di puncak-puncak tinggi.

Ia belajar menyatakan cintanya. Pertama dengan memberi perempuan itu air terjun. Kedua dengan mengajak perempuan itu mencari matahari terbit di puncak tinggi. Ketiga dengan memberinya bunga Edelweiss. Keempat… Kelima… Rasa cinta membuatnya bertekad memberikan banyak hal pada perempuan itu.

Lambat laun ia merasa lelah—karena kekasih tercintanya tak kunjung membalas perasaannya. Perempuan itu tidak percaya cinta.

Perempuan yang benar-benar bodoh, pikirku.

Si penulis belajar menyatakan cintanya pada perempuan lain, sahabat si perempuan itu. Lagi-lagi ia ditolak. Kali ini, ia bersyukur. Cintanya pada perempuan yang pertama begitu besar, sadarnya. Akhirnya satu keputusan besar diambil demi menambal luka. Ia memutuskan untuk menghilang dari pandangan perempuan itu.

Benar-benar bodoh, pikirku. Cinta membuat orang jadi bodoh.

Goretan tinta itu semakin lama semakin memudar dan berakhir dalam titik-titik yang hilang makna. Puisi mengenang si penulis kutambahkan di halaman akhir.

—tanah pun berderai dari langit biru
mengeja kita akan nama waktu, rindu dan sendu
manakala malam yang lelap dan siang berpesta atas perih
luka itu lebur dalam tiupan angin
debu itu singgah di mata dan jadi mutiara kaca

—tanah pun mengurai dalam gelombang
mengucap salam perpisahan kita akan nama tempat di masa lalu
manakala selimut bintang dan kalam menjelma
hari berpesta atas pedih
sakit itu menyublim bersama embun
mutiara kaca terbang dan jadi goresan kata-kata di angkasa

###

Saat aku keluar dari kamar, lelaki itu masih ada di dapur. Ternyata kehadiran dia pun bukan mimpi, desahku kecewa. Ia sedang mengenakan apron dan memasak sesuatu di atas kompor. Aku melihat isi rucksack miliknya sudah dikeluarkan sebagian dan diletakkan di rak kosong tak jauh dari jendela. Laptop hitam yang kupikir itu miliknya sudah menyala di atas meja, di samping Macbook milikku. Mungkin Linnie memberitahukan password jaringan Wifi internet gratis dari pihak pengelola gedung flat yang kutinggali.

Suara ringtone ponsel tiba-tiba berbunyi. Lelaki itu mematikan kompor dan membalikkan badan. Kami berhadapan dan saling berpandangan dengan perasaan ganjil yang sulit kujabarkan dengan kata-kata—antara rasa kangen dan sekaligus benci. Lelaki itu tersadar dengan ponselnya. Ia mencari benda itu di atas sofa. Aku lalu melongok ke atas kompor dan takjub dengan apa yang kutemui. Nasi goreng. Baunya harum. Perutku segera berkruyuk-ria menanggapinya. Tanganku terjulur hendak menjawil sedikit.

“Cuci tangan dulu!” jerit lelaki itu. Aku segara menarik tangan dan menahan diri dari dorongan rasa lapar.

Ponsel berdering lagi dan segera kudengar suaranya memenuhi ruang.

“Halo? Iya, sorrriii! Aku tadi lupa naruh. Sorry lama! Buset, pagi-pagi jangan ngomel begitu, bu! Iya. Iya, ngerti. Ini ada orangnya. Kamu mau ngomong nggak?”

Lelaki itu memanggilku, namun aku tidak menyahut dan malah mengambil botol air dari kulkas. Ia lalu mendekat dan segera menempelkan ponsel di telingaku. Sejenak, aku merasa kesal sikapnya itu karena seingatku ia selalu seperti ini sejak dulu—selalu otoriter dan memaksakan kehendak. Apa dia tidak menyadari aku enggan menghadapi siapa pun dari masa lalu?

“Ini Ratih,” katanya.

Aku menerima ponsel itu dengan mangkel.

“Halo?”

Satu jeritan panjang yang familier membuatku jengah. Jeritan itu menyambung dengan ocehan perempuan panjang lebar mengomel. “Nara, elo itu, ya! Elo enggak tahu gue dan Bunda sudah mempersiapkan pesta kepulangan elo. Eh, mendadak seenak jidat lo dibatalin! Elo tau enggak…” Bla…bla…bla… Aku terkenang caranya bicara, alisnya yang sedikit naik, gayanya yang manja dan omelan itu selalu berakhir dengan tuntutan aneh.

Suara anak kecil laki-laki bertanya terdengar sebagai backsound, “Siapa, Ma?”

“Teman Mama.”

“Siapa?”

“Tante Nara. Mau ngomong?”

Tante? Gue sudah tante-tante? Apakah aku membeku dalam kapsul dan tiba-tiba mencair begitu saja dalam kurun waktu berbeda?

“Sori, Ra! Itu anak gue yang paling gede. Elo telat ngasih ucapan selamat. Nasib lo deh, gara-gara kebanyakan bertapa di hutan.”

“Umur berapa, Rat?”

“Minggu depan ulang tahun ke lima, Ra! Elo bisa pulang kan? Anak gue selalu tanya siapa tante Nara. Dia bahkan manggil nyokap lo Oma dan sekarang jadi cucu kesayangannya. Elo mesti lihat, deh!”

Aku tanpa sadar tersenyum. “Bunda katanya sakit?”

“Iya. Penyakit lama, sih! Kambuh karena elo enggak kedengaran kabarnya selama setahun belakangan ini. Biasanya hampir tiap bulan sejak elo pergi-pergian, elo selalu telpon nyokap lo dan mengabarkan kondisi elo. Eh, mendadak hilang ditelan bumi. Apa perlu gue ikut nge-SAR dengan perut buncit begini, Ra?”

“Eh, elo hamil lagi? Gila, tokcer amat!” Aku spontan menoleh pada lelaki itu, yang sekarang sedang mengatur piring di meja makan. Ia mengambil kotak jus Buavita rasa sirsak dari dalam kulkas dan meletakkannya di tengah-tengah meja. Lelaki ini…kenapa terasa berbeda sekali dari yang pernah kuingat? Beberapa hal masih sama, beberapa hal mungkin terlupakan, tapi ini…yang ada di hadapanku sedang berlaku sebagai lelaki idaman para perempuan: suami yang baik, perhatian, bisa memasak (walau hanya nasi goreng barangkali). Apakah waktu sedemikian ajaib merubah karakter orang?

Ratih tertawa. “Cukup dua aja. Bisa jebol kantong kalau punya anak banyak. Yang ini sudah di-USG, kelaminnya perempuan. Pas jadinya.”

“Selamat, ye!”

“Elo juga harus coba ngerasain sekali-kali enaknya jadi nyokap, Ra!”

“Semprul!” Aku tidak bisa bayangkan diriku hamil dan punya anak seperti Ratih. Bahkan aku tak yakin bisa jadi ibu yang baik. Aku bukan tidak suka anak-anak. Tapi, banyak anak di tempat-tempat yang kudatangi tidak memiliki nasib beruntung memiliki ibu yang mengasihi mereka. Mereka menunggu ajal dengan tubuh tak berdaya akibat kelaparan dan kekurangan gizi. Penyakit apapun dengan mudah menghinggapi. Aku sendiri sulit sekali terlalu mengasihi mereka. Rasa yang kucari tidak kutemui di antara wajah-wajah mereka.

“Ra, nanti atau besok gue telpon lagi, ya! Anak gue ngambek enggak mau sekolah. Katanya sekolahnya enggak asyik. Ia enggak suka teman-temannya. Suruh Aksan masak yang banyak. Dia itu ternyata diam-diam jago, loh! Habis sudah gue seperti sapi gendut tukang cicip kalau dia turun ke dapur.” Percakapan terputus.

Aku termenung dan terkenang aku juga pernah seperti itu—tidak suka sekolah. Sampai gue ketemu dengan mereka. Kuberikan ponsel itu pada si lelaki dan duduk di salah satu kursi. Di hadapanku, sepiring nasi goreng hangat terhidang menanti disantap. Tak lama lelaki itu duduk berseberangan denganku.

“Elo enggak makan?”

“Sejak kapan elo bisa masak?”

“Banyak yang enggak elo tahu tentang gue.”

“Apa enak?”

“Coba saja. Gue hanya pakai telor dan bakso ikan yang ada di kulkas. Ratih pasti ngamuk melihat elo kurus kering begini.”

“Gue enggak kurus,” protesku cepat. “Elo enggak perlu atur-atur gue!”

“Dengar, Ra! Gue datang kemari bukan karena kangen bertengkar dengan elo. Gue sukarela membantu kerjaan elo di YNL. Setelah semua selesai, tujuan gue hanya satu.”

“Apa?” tanyaku heran.

“Membawa elo pulang. Nah, sekarang makanlah! Elo belum makan sejak kemarin. Itu enggak baik buat kesehatan lo. Bukannya jadwal lo nanti bakal padat kata Linnie?” Ia menyuap satu sendok besar ke dalam mulutnya.

Aku berpikir ia ada benarnya dan ikut menyuap sesendok. Lidahku seolah-olah melepas rindu dengan rasa masakan yang bertahun-tahun nyaris tidak lagi kunikmati. Bukan tidak pernah ada kesempatan. Tapi rasa masakan seperti yang kumakan saat ini berbeda dari biasanya. Bukan juga karena lelaki ini yang tiba-tiba menjadi pandai memasak. Rasa ini…hampir mirip dengan nasi goreng yang sering dimasak Bunda. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Ada yang beda. Ah, aku tahu sekarang!

“Kecap manisnya elo bawa dari Jakarta, ya?”

Lelaki itu mengangguk. “Spesial.”

“Bagaimana elo tahu?”

Sekarang ia tersenyum dan matanya berubah jahil. Lelaki ini…siapa? Aku merasa asing terhadapnya. Dalam benakku, kenangan akan orang ini seketika terlindas menjadi sosok yang baru dan sama sekali berbeda. Seharusnya aku senang. Seharusnya aku takjub. Namun reaksiku justru berlawanan dari seharusnya. Aku tidak suka sosok ini. Ia seolah-olah mengenalku dan berusaha mengikatku dengan tali rami tak kasat mata. Saat aku lengah, ia menebarkan jala kenangan yang selama ini kuhindari. Aku akan terkurung dan megap-megap karena sesak berusaha melawannya.

Selera makanku sekejap hilang. Aku menatapnya dingin, sedingin suaraku yang tajam. “Gue enggak butuh elo. Pulanglah!”

###

“Nara, elo kejam! Kejam banget.”
“Apa? Sejak dulu memang gue benci si Bandit!”
“Tapi elo enggak boleh begitu. Dia sahabat kita juga.”
“Dia menyebabkan gue kehilangan elo!”
“Bukan dia!”
“Seandainya hari itu dia yang pergi.”
“Nara! Stop, deh! Elo terlalu banyak menyalahkan orang. Elo enggak percaya kalau orang yang mencintai elo itu enggak akan menyakiti lo.”
“Memang kenyataannya cinta selalu berakhir sakit hati. Jadian. Putus. Menikah. Cerai. Jadi untuk apa bersusah payah jatuh cinta jika ending-nya selalu sama?”
“Lalu bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan cinta kita?”
“Galing sayang, cinta kita yang ini menentang takdir. Elo tahu itu, kan?”
“Nara, bangun! Bangun, Ra! Elo hidup dalam delusi. Cinta yang elo ingini. Dunia yang elo bentuk sendiri. Rasa yang elo cari. Semua enggak pernah nyata!”
“Sekarang, elo yang kejam! Elo yang enggak mengerti cinta.”
“Gue?”
“Elo enggak mengerti gue enggak bisa kehilangan elo. Enggak bisa! Gue enggak mau cinta yang seperti itu!”
“Nara… Sadarlah! Sadar, Nara!”
“Enggak mau!”
“Sadarlah, Ra! Tanpa sadar elo sudah lama kehilangan. Sekarang waktunya hidup lo berlanjut.”
“Enggak mauuu!!!”

###

“Nara! Nara! Bangun!” Goncangan itu membuat mataku terbuka. Lelaki itu duduk di tepi tempat tidur dan menatapku cemas. “Elo kenapa, sih?”

Itu mimpi yang sulit kujelaskan. Hanya gelap. Hanya suara-suara. Yang membuatku terbangun dengan napas memburu dan keringat membanjir. Aku takut tak mampu membuka mata. Takut ini semua nyata—mimpi itu. Aku akan selamanya terjebak.

Aku bangkit duduk dalam tremor.

Lelaki itu lalu mengusap-usap punggungku seperti yang sering dilakukan Ayah ketika aku masih kecil dan sering melindur dalam tidur, membuatku benar-benar teringat masa lalu yang menyenangkan. Saat itu aku menyandarkan kepala ke bahu yang kokoh, merasakan napas itu hangat dan dekat dengan cuping telingaku—tenteram dan nyaman. Ayah akan mendongengkan Putri Naga dan Kaisar Bola Api yang saling mencintai. Itu rasa cinta yang membuatku berharap mencari Kaisar Bola Api.

Ternyata saat ini pun aku melakukan hal yang sama. Lelaki itu bukan Ayah. Suaranya berat dan lirih saat mengatakan penyesalannya dengan tulus.

“Nara… Bisakah sekali ini saja—sekali ini saja elo maafin gue? Maafin gue, Ra!”

Airmata. Yang kupikir telah lama kering—sekarang mengalir turun dengan sendirinya. Sesuatu dalam diriku mencair. Sesuatu yang lama kubekukan. Sesuatu yang tidak kupercayai lagi masih tersisa. Kubisikkan nama itu, nama si lelaki. “Aksan…”

###

Aksan pasti bahagia bisa menikah dengan Ratih. Pagi-pagi aku sudah mendengar ia mengobrol lama di ponselnya.

“Sudah bangun? Oh, baru. Jam berapa di situ? Di sini baru jam tujuh. Iya, aku tahu. Baru lusa kami berangkat, Rat! Aku belum tahu plan si Nara atau rundown dari YNL. Kata Linnie yang jadi LO-nya YNL, nanti mungkin ada guide yang membantu. Aku menyesal enggak bawa peralatan panjat. Soalnya pasti perlu.”

Aku keluar dan mencari-cari kunci di atas meja kerja dan kutemukan di sela tumpukan kertas. Sekilas kulirik ia tidak terganggu dengan kemunculanku dan berulangkali bicara sambil tertawa, suatu hal yang jarang ia tunjukkan dulu.

“Si Kakak enggak mau sekolah? Masih tidur sekarang? Itu biasa, anak umur segitu. Enggak usah khawatir. Jaga kesehatan, ya! Kasihan si kecil kalau ibunya kebanyakan mikir. Kamu di rumah atau di rumah Oma? Oh… Oma mau check-up ke rumah sakit? Siapa yang antar? Oh, okay! Ya, sudah. Hati-hati, ya! Iya! Iya, aku tahu! Aku enggak lupa. Enggak, aku enggak merokok. Suer! Sudah, ya! Nara baru bangun. Nanti kutelpon lagi siang-siang. Byee!”

Ia mematikan ponsel dan meletakkannya di coffee table samping sofa.

“Pagi sekali Ratih bangun. Gue kira dia tipe nyonya besar,” Aku berkomentar. “Di mana dia?”

“Ratih di rumah nyokap lo,” sahutnya masih tersisa tawa. “Sepi di rumah. Nyokap lo hari ini check up rutin ke rumah sakit.”

“Apakah parah?” tanyaku sedikit terkejut. “Terakhir, Bunda kasih tahu lututnya sakit dan agak bengkak karena asam urat.”

“Sejauh ini dia masih rutin berobat. Saat elo pulang, elo bisa lihat sendiri keadaannya. Adik lo juga sekarang rajin berkunjung. Anaknya bertambah satu bulan Maret kemarin. Di rumah lo ramai. Nyokap jadi enggak kesepian.”

It’s weird. Aksan dan Ratih menjadi akrab sekali dengan keluargaku. Aku bahkan tidak akrab dengan adikku. Kami terlalu berbeda jauh. Diam lebih baik daripada bertengkar. Setidaknya aku hanya rajin bertengkar dengan satu orang, yaitu Bunda. Saat aku tidak ada, tentu Bunda kesepian. Aku pun terkadang merasa kangen mendengar petuah-petuahnya yang menyuruhku bersikap lebih perempuan.

“Thanks, ya!” kataku.

Aksan mengerutkan dahi. “Untuk apa?”

Aku tersenyum. “Semuanya. Yuk, gue mau ke pasar. Kita cari sarapan. Hari ini gue harus bikin daftar persiapan berangkat lusa. Ada beberapa barang yang harus gue cari. Desa yang nanti akan kita datangi itu jauh di atas pegunungan dan harus menyeberangi sungai-sungai berarus deras. Medan perjalanan pasti sulit. Terus, gue harus belikan lo simcard nomor lokal supaya Ratih enggak mahal telpon internasional. Nanti gue ajak ke Causeway Bay kalau elo mau masakan Indo. Ada nasi kuning, ayam goreng, bahkan soto rawon.”

“Tumben,” balasnya takjub melihat kelakuanku yang super ramah.

“Anggap aja ucapan thank you karena kalian baik sama nyokap gue selama gue enggak ada.”

“Lo tau kan itu enggak perlu. Kita bukan satu-dua bulan kenal, kan?”

“Iya, gue tahu. Tetap aja gue ngerasa itu perlu. Dan…” Aku terdiam. Aksan menungguku bicara.

“Dan apa?”

“Sorry. Maaf. Maaf gue kasar pada lo kemarin,” tuturku berusaha untuk tulus.

Aksan sejenak merasa bingung. Ini lebih baik, pikirku. Kehadirannya bisa saja membuatku emosional mengingat segala yang pernah terjadi di antara kami, tapi saat ini aku tidak bisa terus mengurung diriku di kamar, menghindar dan bersikap dingin. Linnie biasanya jeli mengamati. Untuk sementara, aku harus berdamai dengannya. Setidaknya untuk saat ini.

SH

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun