“Gue enggak kurus,” protesku cepat. “Elo enggak perlu atur-atur gue!”
“Dengar, Ra! Gue datang kemari bukan karena kangen bertengkar dengan elo. Gue sukarela membantu kerjaan elo di YNL. Setelah semua selesai, tujuan gue hanya satu.”
“Apa?” tanyaku heran.
“Membawa elo pulang. Nah, sekarang makanlah! Elo belum makan sejak kemarin. Itu enggak baik buat kesehatan lo. Bukannya jadwal lo nanti bakal padat kata Linnie?” Ia menyuap satu sendok besar ke dalam mulutnya.
Aku berpikir ia ada benarnya dan ikut menyuap sesendok. Lidahku seolah-olah melepas rindu dengan rasa masakan yang bertahun-tahun nyaris tidak lagi kunikmati. Bukan tidak pernah ada kesempatan. Tapi rasa masakan seperti yang kumakan saat ini berbeda dari biasanya. Bukan juga karena lelaki ini yang tiba-tiba menjadi pandai memasak. Rasa ini…hampir mirip dengan nasi goreng yang sering dimasak Bunda. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Ada yang beda. Ah, aku tahu sekarang!
“Kecap manisnya elo bawa dari Jakarta, ya?”
Lelaki itu mengangguk. “Spesial.”
“Bagaimana elo tahu?”
Sekarang ia tersenyum dan matanya berubah jahil. Lelaki ini…siapa? Aku merasa asing terhadapnya. Dalam benakku, kenangan akan orang ini seketika terlindas menjadi sosok yang baru dan sama sekali berbeda. Seharusnya aku senang. Seharusnya aku takjub. Namun reaksiku justru berlawanan dari seharusnya. Aku tidak suka sosok ini. Ia seolah-olah mengenalku dan berusaha mengikatku dengan tali rami tak kasat mata. Saat aku lengah, ia menebarkan jala kenangan yang selama ini kuhindari. Aku akan terkurung dan megap-megap karena sesak berusaha melawannya.
Selera makanku sekejap hilang. Aku menatapnya dingin, sedingin suaraku yang tajam. “Gue enggak butuh elo. Pulanglah!”
###