Aku tersenyum. “Semuanya. Yuk, gue mau ke pasar. Kita cari sarapan. Hari ini gue harus bikin daftar persiapan berangkat lusa. Ada beberapa barang yang harus gue cari. Desa yang nanti akan kita datangi itu jauh di atas pegunungan dan harus menyeberangi sungai-sungai berarus deras. Medan perjalanan pasti sulit. Terus, gue harus belikan lo simcard nomor lokal supaya Ratih enggak mahal telpon internasional. Nanti gue ajak ke Causeway Bay kalau elo mau masakan Indo. Ada nasi kuning, ayam goreng, bahkan soto rawon.”
“Tumben,” balasnya takjub melihat kelakuanku yang super ramah.
“Anggap aja ucapan thank you karena kalian baik sama nyokap gue selama gue enggak ada.”
“Lo tau kan itu enggak perlu. Kita bukan satu-dua bulan kenal, kan?”
“Iya, gue tahu. Tetap aja gue ngerasa itu perlu. Dan…” Aku terdiam. Aksan menungguku bicara.
“Dan apa?”
“Sorry. Maaf. Maaf gue kasar pada lo kemarin,” tuturku berusaha untuk tulus.
Aksan sejenak merasa bingung. Ini lebih baik, pikirku. Kehadirannya bisa saja membuatku emosional mengingat segala yang pernah terjadi di antara kami, tapi saat ini aku tidak bisa terus mengurung diriku di kamar, menghindar dan bersikap dingin. Linnie biasanya jeli mengamati. Untuk sementara, aku harus berdamai dengannya. Setidaknya untuk saat ini.
SH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H