“Terimakasih Mas,” ucapnya lembut. Entah sudah berapa kali ia menitikkan air mata. Mushaf masih dalam keadaan terbuka di atas meja kayu, beberapa lembar basah oleh tetesan air mata. Bidadari di hadapanku tak mampu menyembunyikan tangis bahagia. Meski masih terbata-bata, aku menyimak alunan huruf demi huruf yang terbaca.
“Sepertinya ada yang salah,” bisikku di telinga kanan. Bersama, duduk berhadapan. Jarak antar kepala kami begitu dekat. Seketika bacaan terhenti. Ia menatapku. Mengerutkan dahi penuh tanya.
“Apa dia salah menangkap maksudku?” hatiku bertanya. Ia masih membisu. Mungkin menunggu penjelasanku.
“Kenapa berhenti?”
Bukannya menjawab, malah Ia menunduk malu.
“Kenapa Dik?” Ku ulangi dengan kalimat lain. Mungkin saja bisa membuatnya bicara.
Ia menggeleng,”Maaf Mas,” katanya dengan penuh penyesalan.
“Bukan itu,” jelasku.
“Lantas?” Ia menatapku sambil mengernyitkan dahi.
Sungguh tatapan bola mata yang memancar sangat meneduhkan. Aku mengusap lembut pipinya. Ada sisa tetesan air mata. Kemudian membenahi jilbabnya. Dikira sebuah kesalahan fatal.
Sudah berjam-jam lidah ini tiada mengecap makanan. Perut kian memberontak, tapi lapar memasung dirinya. Suara lantunan ayat suci Al-Quran bergema di ruang tamu. Jendela kaca menganga, rintik-rintik hujan melingsir. Aku belum cukup tangguh menyaksikan jasad ibu terbungkus kain kafan. Bagiku, cuma ada satu sosok orangtua. Iya, ibuku lah sosok itu. Ayah yang seharusnya hadir, justru lari dari tanggungjawab.