Mohon tunggu...
jemari Kreasi
jemari Kreasi Mohon Tunggu... Psikolog - Para kreator

Kumpulan pemikir yang mengembangkan ide dalam kreasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragedi Jeruk Nipis

1 Oktober 2019   17:28 Diperbarui: 1 Oktober 2019   17:45 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TRAGEDI JERUK NIPIS
(Veradina Rahmawati)
#cerpen

"Mas, mau kemana?"

"Ke masjid Dek."

"Nggak denger adzan. Mampiri belikan jeruk nipis ya, adek beli ikan lupa beli jeruk."

"Belum adzan sih, tapi sebentar lagi. Ok, jeruk nipis ya." Kusodorkan tangan, Nana menciumnya dengan hikmad, kuelus kepalanya, menempelkan bibir di dahi kemudian berlalu.

"Jangan lupa ya, Mas! Jangan sampai ikannya busuk!"

Masih terdengar teriakan istri bawelku, sebelum hilang tertelan deru motor.

*****

Keluar masjid persis saat benda persegi di dinding menunjukkan waktu 18.35. Menyusuri jalan desa yang lengang, mampir di sebuah warung sayur, sekantung jeruk nipis berpindah ke gantungan motor.

Melaju beberapa jenak, mataku terserobok sosok yang tengah berjalan tertatih.

Perlahan kutepikan motor. Berusaha menegaskan pandangan, seraut wajah keriput yang kelelahan. Tangannya mengepit sebuah tas hitam agak besar, khas milik wanita.

"Nek, mau kemana?" tanyaku.

Wajah itu tampak kebingungan. Aku bangkit dari motor dan mengulang pertanyaanku.

"Nenek, mau kemana?"

"Mau kemana ya, Nak? Biasanya naik angkot merah, sampe ujung. Jalan kaki sebentar, masuk gang, terus sampe," jawabnya.

"Trus kenapa nenek bisa jalan kaki?"

"Tadi supir angkotnya nuruni tengah jalan, dia ndak mau antar sampai ujung, sepi! Katanya rugi, Nenek ndak bayar tapi bingung naik apa lagi. Akhirnya jalan aja." Wajahnya tampak letih, entah sudah berapa lama dia berjalan.

"Nenek punya catatan alamat?"

Diaduk-aduk tas hitam miliknya, tapi belum menemukan apa yang dicari. Wajah tua itu makin tampak resah, tubuhnya melemah dan akhirnya memilih duduk di pinggir jalan.

Iba hatiku melihatnya.

"Pelan-pelan saja, Nek. Aku nggak buru-buku kok," kataku mencoba menenangkan hatinya.

Tangan tua itu mulai mencari lagi, meneliti setiap sudut tasnya.

"Memang, Nenek dari mana sih?" tanyaku

"Dari rumah anak di Sempaja, sudah bilang mau ke Bukuan, tapi semua sibuk, nggak ada yang dengar, Nenek jalan aja sendiri." Tangan tua itu menghapus air mata yang terlanjur keluar.

Sambil tangan satunya tetap sibuk mencari sesuatu yang entah apa.

Akhirnya, sebuah buku kecil ditemukan, membuka lalu menunjukkannya kepadaku. Tangannya gemetar.

Sebuah alamat di Kampung Bukuan, kampung paling ujung di kecamatan ini, plus nomor telpon.

Kucoba menghubungi, sibuk. Beberapa kali mengulang, berkali-kali pula dijawab operator.

Tiba-tiba isak lirih terdengar, kutolehkan wajah. Dalam kondisi bersimpuh di pinggir jalan, badan nenek tampak berguncang.

"Aku cuma kangen, kenapa ga ada yang mo ngerti, aku ga niat nyusahin kok." Suaranya terdengar di sela isak tangis yang makin menderas. Trenyuh hatiku melihatnya, tanpa sadar air mataku turut menetes..

"Ayo, Nek. Saya antar aja," ujarku akhirnya, sambil menyusutkan air di sudut mata. Kubantu tubuh ringkiihnya berdiri.

Tiba-tiba mata tertuju pada plastik jeruk nipis, terbayang wajah manis istriku yang menanti. Apakah harus kuantarkan dulu ke rumah, tapi melihat langit yang tak berbintang dan angin yang lebih kencang dari biasanya, kuperkirakan sebentar lagi akan turun hujan.

Tak bisa kubayangkan jika si nenek harus kuantarkan dalam kondisi hujan.

'Ngantar sebentar aja kok, insya Allah Nana bisa mengerti.'

Maka melajulah motor bututku membelah senyapnya malam. Menempuh waktu hampir dua puluh menit untuk sampai di halte terakhir angkot merah, seperti keterangan nenek.

"Kalau dari sini, Nenek ingat rumahnya?"

"Ingat, Nak. Terus aja lalu belok kanan."

Mengikuti petunjuk yang diberikan, berhentilah motorku di sebuah rumah besar. Pagar hitamnya tinggi berkesan mewah. Barisan mawar menghiasi taman, dengan beberapa  anggrek bulan tergantung di sisi yang lain. Sebuah kolam air mancur berada ditengah taman.

'Waw, di kampung kecil begini, ada istana semewah ini? Pejabat kali ya anaknya'

Kugedor gerbang tersebut. Dari pintu garasi keluarlah seorang ibu paruh baya, tergopoh-gopoh. Belum sempat menerangkan apa yang terjadi ....

"Ya Allah, Yangti, kemana aja? Semua sibuk nyari Eyang," jeritnya tertahan.

Diraihnya tas si Nenek, memapahnya masuk. Beberapa langkah, ibu itu tersadar. Berhenti lalu membalikkan badannya.

"Eh, maaf, Mas. Saya sampe lupa sampeyan. Makasih ya ... tapi saya nggak diperkenankan bawa tamu asing masuk rumah. Maaf ya." Penjelasannya memberondong telingaku.

"Iya, nggak papa. Saya pamit."

"Iya, Mas. Makasih ya."

"Makasih ya, Nak," kata si Nenek, kubalas dengan senyum dan anggukan kepala.

Mendekati gapura batas desa, adzan Isya berkumandang. Kubelokkan motor memasuki halaman masjid. Hidup sudah terlalu sempit untuk dijalankan sendiri. Menyertakan Sang Pencipta membuatnya terasa lebih lapang.

Selesai sholat, kukendarai motor dengan kecepatan sedang, tiba-tiba terlintas wajah manis istriku. Hati berbisik pelan ... semoga Nana tidak marah.

**********

Memasuki pekarangan, rumah tampak sepi, lampu ruang depan sudah dimatikan.

Saat masuk, mataku tertuju pada penunjuk waktu, pukul 20.55. Wah sudah malam ternyata, bungkus plastik berisi jeruk nipis masih dalam genggaman. Kucoba membuka pintu kamar ... terkunci.

"Dek, Dek!" Beberapa kali tak ada jawaban.

Tiba-tiba kamar sebelah terbuka. Anakku, Syifa keluar sambil mengucek-ngucek mata.

"Mau kemana, Fa?"

"Pipis."

"Ibu?"

"Bobok."

"Jadi masak ikan?"

"Dikasihkan kucing."

Aku tersentak.

Kemudian kaki kecilnya terseok melangkah, meninggalkanku yang termangu.

'Nana marah'

Mencoba menenangkan diri, aku memilih merebahkan diri di atas karpet depan TV. Meletakkan lengan dibawah kepala, mataku menatap langit-langit rumah, terbayang kejadian kemarin siang, saat ibu pemilik kontrakan datang menagih sewa yang sudah dua bulan belum kami bayarkan.

Kuembuskan napas, mencoba membuang sesak, melerai kekusutan pikiran.

'Ya Rabb, tidak kau uji aku diluar batas kemampuanku.'

**********

Udara bersih mengisi paru-paruku pagi ini. Kabut tipis masih menari-nari.

Menembus angin dingin, kubawa motor menuju rumah setelah melaksanakan sholat subuh di Masjid.

"Assalamualaikum."

Tak terdengar jawaban. Langsung menuju dapur, tampak Nana sedang menyiapkan bekal untuk Syifa ke sekolah.

"Maaf, ya." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Tapi tak ada respon, wajah manis itu tampak kaku.

Tak ingin memperpanjang masalah, cepat kuambil sapu lidi dan serokan, berjalan menuju halaman. Lebih baik kulakukan apa yang bisa dikerjakan.

Tepat pukul tujuh, Syifa keluar dengan seragam dan perlengkapan sekolah yang sudah rapi. Saatnya mengantar ke sekolah.

Kembali ke rumah dalam kondisi perut kosong karena tak diisi sejak semalam. Kuberanikan diri membuka tudung saji, tidak ada apa pun.

Melangkah ke dapur, terdengar Nana sedang mencuci. Aku tak berani mengusik, mengambil segelas air putih sekedar perintang perihnya perut dan memilih duduk diam di depan pintu dapur.

Tak lama, Nana keluar menenteng dua ember berisi cucian. Sergap aku berdiri, dan mengambil ember-ember itu. Nana melengos.

Membawanya keluar dan menjemurkan.

Tak lama, Nana muncul membawa tumpukan gantungan. Meletakkannya lalu mulai menjemur juga. Hening ....

"Maaf, ya ...," kataku mencoba menghalau bungkam.

Tak ada jawaban.

Kutarik napas panjang, masa hanya karena jeruk nipis, kondisi menjadi runyam begini.

"Dek, aku lapar." Kuraih tangan Nana. Mencoba meleraikan suasana. Namun tanganku di sentak.

"Emang Mas pikir, Mas aja yang belum makan?" Suara Nana menusuk jantungku.

"Lalu kenapa ikannya kamu kasih kucing?"

"Mas peduli dengan ikan? Kalau Mas peduli, harusnya jam setengah tujuh, Mas sudah sampai rumah!"

"Tapi tadi malam--."

"Aku tak peduli dengan alasan Mas, yang aku peduli,  kita tak punya apa-apa, cuma ada 2 butir telur dan seperempat kilo ikan. Jika ikan tak segera di goreng maka akan busuk. Jadi daripada busuk, kulempar saja untuk kucing?" Napas Nana tersengal, air mata mulai merebak.

Kurengkuh tubuh mungilnya, tak hendak menyalahkan. Kesulitan hidup yang tiga bulan ini kami rasakan setelah aku di PHK, membuat Nana jadi sensitif.

"Maafkan, maafkan!" Tak ada kata lain yang kuingat, rasa bersalah yang begitu besar membuat pikiranku kosong. Nana terisak dalam pelukanku.

Aku sudah berusaha mengirim lamaran ke hampir semua perusahaan di kota ini. Tak satu pun membuahkan hasil. Hingga sebulan belakangan ini aku tak lagi berharap kerja di perusahaan, maka kuterima tawaran pekerjaan apa pun.

Membantu membangun rumah, proyek galian  parit, kuli pengangkut tanah, apa pun yang penting halal. Hasilnya tak seberapa, sekedar membeli bahan pangan.

Kuembuskan napas panjang ....

Tiba-tiba ponsel bergetar. Kuangkat, sambil tetap memeluk Nana yang masih terisak.

Nomor tak dikenal.

"Halo?"

"Saya Heri, benarkah saudara mengantarkan ibu saya tadi malam?"

"Oiya, Pak Heri ... dapat nomor saya darimana?"

"Saudara sempat telpon sayakan?"

"Betul, tapi ponsel bapak sibuk."

"Iya, maaf ... mencoba menghubungi orang-orang yang mungkin tahu keberadaan ibu, sempat berkeliling juga tapi tak ketemu. Akhirnya dapat telpone dari rumah kalau ibu diantar seseorang, terima kasih, ya!"

"Oiya, tak papa, Pak Heri," jawabku.

"Boleh saya berkunjung ke rumah?"

"Silakan, Pak." Kusebutkan alamat rumah.

**********

Sore ini menjadi sore termanis untuk keluargaku. Mendapat kunjungan dari seorang pejabat pemda plus aku mendapatkan pekerjaan menjadi supir pribadinya.

Rasanya jingga senja saat ini mampu mewakili riang perasaanku. Ringan langkah saat melepas kepergian mobil Pak Heri, memandangnya hingga hilang di tikungan.

"Mas, maaf ya adek sudah marah-marah sama mas." Alunan suara riang yang seharian ini tak kudengar, menelusup indra pendengaranku.

Kutolehkan wajah, mengambil jemari lalu mengecupnya.

"Mas sudah maafkan sejak tadi."

"Adek kira--."

"Sudah tak usah diteruskan. Mas mengerti, tumpukan beban hidup dan lelah badan membuat kamu lebih sensitif"

"Rizki Allah itu aneh ya, Mas. Kadang saat kita begitu menggebu, Allah nggak kasih ... saat kita sudah ikhlas, justru takdirnya datang."

"Mas cuma percaya, manfaatkan setiap moment yang hadir di hadapan untuk berbuat sebaik mungkin, karena bisa jadi itu sarana Allah mentakdirkan sesuatu."

"Ah, Mas mah ngeledek!"

"Nggak-lah, Sayang. Buat apa? Mas sedang mempelajari hubungan sebab akibat, bisa jadi karena mas menolong eyang, Allah membuka hati Pak Heri menerima mas bekerja."

"Bahwa perbuatan baik, hasil baiknya juga kembali kepada yang berbuat?"

"Iya, kamu bayangkan jika mas memilih menyelamatkan ikan? Kita memang bisa makan ikan, namun tidak menyelesaikan persoalan yang lain ... hahahaha."

"Aaahhh ... mas mah, gitu!"

- TMR Bukuan, 31 Mei 2019 -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun