"Memang, Nenek dari mana sih?" tanyaku
"Dari rumah anak di Sempaja, sudah bilang mau ke Bukuan, tapi semua sibuk, nggak ada yang dengar, Nenek jalan aja sendiri." Tangan tua itu menghapus air mata yang terlanjur keluar.
Sambil tangan satunya tetap sibuk mencari sesuatu yang entah apa.
Akhirnya, sebuah buku kecil ditemukan, membuka lalu menunjukkannya kepadaku. Tangannya gemetar.
Sebuah alamat di Kampung Bukuan, kampung paling ujung di kecamatan ini, plus nomor telpon.
Kucoba menghubungi, sibuk. Beberapa kali mengulang, berkali-kali pula dijawab operator.
Tiba-tiba isak lirih terdengar, kutolehkan wajah. Dalam kondisi bersimpuh di pinggir jalan, badan nenek tampak berguncang.
"Aku cuma kangen, kenapa ga ada yang mo ngerti, aku ga niat nyusahin kok." Suaranya terdengar di sela isak tangis yang makin menderas. Trenyuh hatiku melihatnya, tanpa sadar air mataku turut menetes..
"Ayo, Nek. Saya antar aja," ujarku akhirnya, sambil menyusutkan air di sudut mata. Kubantu tubuh ringkiihnya berdiri.
Tiba-tiba mata tertuju pada plastik jeruk nipis, terbayang wajah manis istriku yang menanti. Apakah harus kuantarkan dulu ke rumah, tapi melihat langit yang tak berbintang dan angin yang lebih kencang dari biasanya, kuperkirakan sebentar lagi akan turun hujan.
Tak bisa kubayangkan jika si nenek harus kuantarkan dalam kondisi hujan.