"Maafkan, maafkan!" Tak ada kata lain yang kuingat, rasa bersalah yang begitu besar membuat pikiranku kosong. Nana terisak dalam pelukanku.
Aku sudah berusaha mengirim lamaran ke hampir semua perusahaan di kota ini. Tak satu pun membuahkan hasil. Hingga sebulan belakangan ini aku tak lagi berharap kerja di perusahaan, maka kuterima tawaran pekerjaan apa pun.
Membantu membangun rumah, proyek galian  parit, kuli pengangkut tanah, apa pun yang penting halal. Hasilnya tak seberapa, sekedar membeli bahan pangan.
Kuembuskan napas panjang ....
Tiba-tiba ponsel bergetar. Kuangkat, sambil tetap memeluk Nana yang masih terisak.
Nomor tak dikenal.
"Halo?"
"Saya Heri, benarkah saudara mengantarkan ibu saya tadi malam?"
"Oiya, Pak Heri ... dapat nomor saya darimana?"
"Saudara sempat telpon sayakan?"
"Betul, tapi ponsel bapak sibuk."