Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pelangi Pucat Pasi - Bagian 6 - Schizophrenia

27 Desember 2016   06:04 Diperbarui: 27 Desember 2016   07:35 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sudah kok mba,tadi bareng Bapak”.

“ Ya sudah kamunaik ke kamar, istirahat.” Tanpa membuang waktu lagi aku segera meninggalkanmba Larasati, membuka pintu kamarku dan menghempaskan tubuh lelahku di tempattidur. Rasanya tidak bisa dipercaya,  bagaimana mungkin mantan pejabat yang terlihat arif di media–mediaternyata memiliki sisi lain yang bertolak belakang dengan kehidupannya dimasyarakat. Dan kenapa harus aku yang jadi korban pelampiasan amarahnya. Kenapaaku? Apa salahku?  Ya, salahku karena akuaku berada di sini. Kalau aku tidak ada di sini tentu hal ini juga tidak akanterjadi. Ini juga karena salahku. Baiklah tidak apa-apa, aku akan mencobabertahan demi sekolahku. Apa pun yang terjadi aku harus sekolah. Aku harus bisa,aku harus bertahan. Aku harus bertahan, tekadku. Kucoba memejamkan mataku untukmelepas lelah, untuk mengumpulkan energi yang mungkin akan terkuras menemaniBapak angkatku nonton TV. Memang ini tidak menguras tenaga tapi cukup mengurasperasaan. Dan aku harus membunuh perasaan, bahkan harga diriku saat aku beradadi sampingnya. Hanya dengan begini aku bisa melewatinya. Dan aku memang harusbisa melewatinya. Ini lebih baik dari pada aku melihat Ibu dengan laki-laki dirumah. Lebih baik aku berada di sini. Paling tidak aku cukup makan dan tetapbisa sekolah meskipun aku harus membunuh rasaku, meskipun aku harusmengesampingkan harga diriku. Apalah artinya harga diri. Tak apalah aku sepertianjing yang harus menurut berada di sampingnya. Tak  apa jika aku harus menjilat kakinya. Tidakapa. Dan tidak apa jika aku harus dipaksa makan makanan yang  tidak biasa. Aku bisa memuntahkan kembali ditoilet. Yang penting aku tidak melihat Ibuku dengan laki-laki. Aku benci Ibu.Aku benci…aku benci ayahku. Jika mereka bersatu, mungkin aku tidak harus beradadi sini. Tapi kurasa mereka tidak punya kasih sayang . Mereka tidak punyacinta. Yang ada di hati mereka hanya nafsu... ya mungkin aku dilahirkan hanyadari nafsu mereka. Mungkin memang di dunia ini tidak ada kasih sayang. Mungkindi dunia ini memang tidak ada cinta. Cerita tentang beningnya hati, nalurikasih sayang dan ketulusan cinta, itu mungkin hanya ada di novel-novel,sinetron dan film-film. Mungkin di alam nyata hal itu tidak akan terjadi.Mungkin semua orang sudah terlalu sibuk memikirkan ego mereka sendiri hinggatak ada lagi naluri. Tak ada lagi ketulusan dan aku berada di sini hanya untukpelampiasan amarah, tak lebih. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia maumenyekolahkan aku. Siapa yang mau rugi. Semua memang ada harganya. Dan sekarangaku harus membayar mahal hanya untuk sekolahku. Aku harus menghadapi seseorangyang mungkin bisa saja membunuhku jika ia lepas kontrol. Itu bisa saja terjadi.Kini aku mengerti apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi semuanya. Ya...aku harus menghadapinya, apa pun itu. Aku lelah dan terlelap entah sudah berapalama sebelum kembali kudengar panggilan Bapak angkatku. Aku segera berlariturun ke bawah cepat-cepat. Aku harus cepat berada di depannya. Kalau tidak diaakan segera membanting sesuatu.

“Syan…Syan..”masih kudengar suara khasnya dan aku mempercepat lariku.

“Kemana saja,dipanggil tidak segera datang?” tanyanya ketika aku sudah berada di depannya.Aku tidak boleh gugup. Aku harus membunuh rasa gentarku. Kalau aku gugup, ini

akan menjadi masalah lagi buatku.

“Kan, masihturun Pak. Kamar Syan kan di  atas”,  jawabku mencoba untuk tenang.

“Di atas terus,jadi burung nanti kamu.” Rasanya aku ingin tertawa mendengar apa yangdiucapkanya…haha... dalam keadaan begini pun aku masih bisa tertawa. Kau memanghebat Syan. Aku menyemangati diriku sendiri.

“Kenapacengar-cengir?” bentaknya, dan aku sudah tidak takut lagi mendengarbentakannya. 

“Ah, enggak kokPak“, Pak Susastio mengambil sesuatu di meja, sepiring buah yang sudah dikupas.

“Ini apa?”tanyanya.

“Buah, Pak.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun