Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pelangi Pucat Pasi - Bagian 6 - Schizophrenia

27 Desember 2016   06:04 Diperbarui: 27 Desember 2016   07:35 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian 6 

Schizophrenia

 

Pagi itu diteras, dengan pemandangan taman yang luas. Hari menjelang siang hawa terasapanas. Pak Susastio teronggok di  salahsatu kursi di teras itu. Sosoknya, yang dulu mungkin kekar itu, kini tersandar.Wajahnya tak menunjukkan perasaan. Matanya menatap kosong ke arah taman. Iahampir tak bergerak.  Keheninganberlangsung hampir seperempat jam. Sementara aku duduk di sampingnya sepertianjing yang setia pada tuannya. Aku sendiri hanya diam tak tahu apa yang harusaku lakukan. Pak Susastio menoleh padaku, lalu menatapku tak berkedip. Dengansorot mata dingin tanpa emosi, aku jadi jengah ditatap sedemikian rupa.

Kutundukkanwajahku untuk menghindari masalah. Tiba-tiba Ia bicara.

“Kamu sudah makan?”

“Sudah, Pak,”jawabku dengan sedikit mendongakkan wajahku.

“Makannya pakaiapa?” Oh, Tuhan bukankah aku tadi makan semeja dengan dia? Apakah dia lupa?

“Hey, kalaudiajak ngomong tuh lihat ke sini”, bentaknya  sambil menunjuk sendirikedua matanya.

“Lihat matasaya”.  Aku tak berani menatapnya.Brak!!! Meja itu di gebrak. 

“Hey, lihat matasaya,” kucoba beranikan diri menatap matanya dan mengangkat mukaku.

“Nah begitu.Coba bicara.”

“Bicara apa,Pak?” aku tak mengerti.

“Arrrggh,bicara!!!”. Kulihat wajah laki-laki di depanku itu merah padam seperti adadendam yang ingin dimuntahkannya padaku.

“Bicara ...bicara yang keras, jangan lemah, tegas”.

“I...ya, Pak.”Ucapku terbata.

“ Yang tegas.Iya Pak, begitu.…”

“I...ya...Pak.”

“Kamu belummakan ya, makan ini, habiskan”. Pak Susastio menyodorkan sepiring kue yang adadi meja itu.

“Makan!”ulangnya.

“Habiskan!” Akuhanya diam dan mena-

tapnya aneh.

“Habiskan!”ulangnya. Tangannya menggebrak meja. Dan seperti anjing piaraannya aku melahapkue yang ada di meja itu tanpa tersisa. Hari-hari kulalui seperti anjing yangselalu menurut apa yang dikatakan Tuannya. Setiap waktu kulalui berada di dekatPak Susastio. Kecuali dia sedang ada urusan, dan malam hari saat aku lelap diperaduan. Saat itulah aku merasa bebas dari semua tekanannya.

Akhirnya tanpakesulitan yang berarti aku sudah pindah di sekolah yang jauh lebih baik darisekolahku sebelumnya. Entah bagaimana juga aku bisa masuk sekolah ini. Tapiyang menyenangkan hatiku hampir semua teman-teman menyambutku. Merekamenerimaku seutuhnya tidak seperti di sekolahku yang dulu. Tak ada orang yangmengejekku anak haram. Justru sebaliknya, mereka sangat menghargai aku. Mungkinhanya karena aku anak angkat mantan orang yang berkuasa di kota itu. Haha...coba kalau aku datang sebagai gembel. Tentu tak akan ada orang yang  menengokku. Seolah-olah hidup  hanya ternilai sebatas rupiah. Padahal dirumah itu pun aku sendiri tidak ada harganya. Aku sudah seperti anjing yangsetiap kali harus menjilati kaki Tuannya. Meski kelihatannya saat berangkat danpulang sekolah aku dijemput sopir. Tapi di rumah aku hanya boneka tempat untukpelampiasan amarah. Aku nyaris tak percaya bahwa hati nurani itu ada. Bahwakasih sayang sejati itu ada. Sepanjang hidupku aku mencarinya. Tapi kenyataanyang kudapatkan sebaliknya. Amarah dan ego mengikis naluri. Rasanya aku inginkembali pulang tapi kalau aku pulang, Ibu tidak akan mungkin meneruskan  sekolahku, dan jalan satu-satunya aku harusbertahan.  Bertahan, apa pun yang terjadidengan hidupku. Toh hidupku memang sudah tidak menentu. Yang harus aku pikirkansekarang adalah bagaimana sekolahku. Aku harus tetap sekolah. Aku tidak inginseperti Ibuku atau seperti ayahku. Aku tidak ingin seperti mereka. Aku bencimereka, yang tak pernah peduli padaku. Biarlah aku jadi anjing yang terusdicambuk dan menjilati kaki tuannya. Biarlah Ibuku bahagia dengan caranyasendiri. Biarlah….

Minggu pagi takada yang bisa aku kerjakan. Kucoba untuk mengisi waktuku dengan mencuci mobil.Sopir Pak Susastio yang bernama Pak Ryan itu tampak senang mobilnya kucuci. Akupun senang melakukannya. Lumayan buat sejenak melupakan semua masalah yang akuhadapi. Belum selesai aku mengerjakannya kurasakan ada seseorang yang sudahberdiri di belakangku.

“Syan, ikutbapak!”

“Sebentar, sayaganti pakaian, pak! “ ucapku.

“Masuk kemobil!” bentaknya. Aku tak mengerti dengan bapak angkatku. Sedikit pun akutidak diberi waktu untuk ganti pakaian. Padahal hanya kaos singlet dan celanakolor yang membalut tubuhku, itu pun basah. Bahkan aku pun  tidak memakai alas kaki. Kuikuti saja apayang ia mau. Aku segera masuk ke mobil, duduk di belakang. Namun… 

“Bapak yangdisuruh nyetir buat kamu? Duduk di depan!” Bentaknya. 

 Dan mobil, dengan satu  letter angka itu sudah melaju dilalulintas kota. Di mobil, aku duduk diam di sampingnya, seperti anak kucingyang tersiram air. Aku diam tak berani bergerak.

“Itu apa?”Tiba-tiba tangan Pak Susastio menunjuk ke satu arah.

“Elizabet pak,Rumah Sakit Elizabeth”.

“Bagus,”katanya.  Kembali tangannya menunjuksesuatu. 

“Itu apa?” akuragu untuk menjawabnya. Tangan Bapak angkatku menunjuk pada tukang baso yangsedang mangkal.

“Baso, Pak.Tukang baso”. 

“Huuuhh...goblok!!!” dia meremas tanganku geram.

“Yang ada di pikirankamu itu cuma makanan. Itu jalan apa maksudnya.” bentaknya.

“Jaksa AgungSuprapto, Pak”.

“Bagus, kauharus hafal jalan di kota ini”.

“Iya, Pak”. Akubaru mengerti apa maksud

Bapak angkatku. Mobil itu berhenti di pusat perbelanjaan.

“Ayo”,  katanya. Tapi aku masih ragu untuk turun. 

“Kenapa diamsaja? Ayo turun.” Tanpa ragu-ragu segera aku turun, mengikutinya berjalan masukke dalam mal, tanpa pakaian yang layak dan alas kaki. Kubunuh rasa maluku dariorang-orang yang melihatku aneh. Aku terus mengikutinya di belakang sepertianjing yang mengikuti Tuannya sampai kami berhenti di sebuah restaurant burger.Dia memesan tiga buah burger dan tiga buah soft drink, dua untukku dan satuuntuknya.

“Habiskan, kauharus makan yang banyak,” katanya. Tanpa ragu-ragu kumasukkan potongan burgeritu ke mulutku tapi rasa bawang bombay  yang menyengat membuatkuingin memuntahkannya. Melihat gelagatku Pak Susastio kembali membentakku.

“Habiskan! Biargemuk!!” kupaksa mulutku untuk menerima makanan yang tidak biasa kumakan. Akumemikirkan, makanan itu adalah makanan kesukaanku agar aku bisa menelannya. Duabuah burger dan dua cup soft drink ukuran besar sudah masuk ke dalam mulutku.Rasanya aku ingin muntah. Perutku mulai mual. Namun segera kupikirkan sesuatuyang menyenangkanku agar aku tidak muntah. Tampak orang-orang di fast food itumemperhatikanku, memperhatikan pakainaku yang hanya singlet dan celana pendekdan mungkin memperhatikan apa yang dilakukan Bapak angkatku padaku. Selesaimakan kembali aku mengikuti dia jalan. Dan kami menuju sebuah counter baju. Diamembelikan satu kaos dan satu celana jeans untukku sebelum akhirnya kamipulang. Mobil BMW itu melaju  tenangmenyusuri jalanan kota yang terik, sebelum akhirnya berhenti di lampu merah.Saat lampu sudah hijau, mobil kami siap jalan, namun sebuah mobil Avanza hitammenghalangi. Dengan sumpah serapahnya Bapak angkatku membunyikan klaksonberulang kali hingga membuat suasana tidak nyaman. Melihat letter di mobil yangkami tumpangi semua mobil itu mengalah dan membiarkan kami lewat. Sampai dirumah cepat-cepat aku naik ke kamarku untuk melepas semua ketegangan selama akuberada di dekat Bapak angkatku. Namun baru saja aku ingin menghempaskan tubuhlelahku di peraduan, sebuah panggilan membuatku harus segera turun. Suara yangsudah mulai akrab aku dengar. Ya... siapa lagi kalau bukan Bapak angkatku.

“Syaaan…turun.Jadi burung kamu nanti di atas terus.” Aku segera berlari menuruni tangga namunsatu kakiku tersangkut oleh sesuatu. Dan tak ayal lagi tubuhku terjungkal daritangga. Sesaat pandanganku memudar untuk kemudian kembali jelas. Sayup-sayupkudengar kembali Bapak angkatku memanggilku. Membuatku harus cepat bangkit dankembali berlari. Sampai di depannya aku tidak menyadari ada darah yang mengalirdari lenganku.

“Kenapalenganmu?” katanya.

“Jatuh Pak ditangga.”

“Kenapa bisajatuh.”

“ Tadi  lari, Pak.”

“Kenapa haruslari-larian…bodoh kamu.”

“Kan tadi Bapakteriak-teriak memanggil Syan”.

“Lain kalihati-hati. Minta mbok Ti  mengobatilenganmu setelah itu ke sini“.

“Baik Pak”. Akusegera menemui mbok Ti pembantu rumah itu. Setelah diperban dan diberi obatmerah, aku segera kembali di depan TV di dekat bapak angkatku. Biasanya akubisa pergi kalau dia sudah tidur. Aku hanya diam dan menajawab sekali dua kalipertanyaannya. Sementara aku tetap diam dan tak bersuara kalau tidak ditanya.Hal ini membuatku seperti orang bodoh. Sementara waktu terus bergulir dan jamdinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Sementara aku belum melakukan apa-apauntuk diriku sendiri. Jangankan mengerjakan PR, bahkan mandi pun aku belumsempat. Suara TV yang menyiarkan siaran berita dengan volume besar, tidakmembuatnya terganggu. Kulirik Bapak angkatku yang rebahan di sofa matanya 

tampak menutup dan tubuhnya sudah tak bergerak. Hanya terlihat nafasnyayang teratur. Perlahan-lahan aku beringsut mundur. Dan segera beranjakkekamarku. Dan di saat Bapak angkatku belum bangun aku sudah berangkat sekolah.Aku lebih baik berangkat jalan kaki dari pada diantar yang hanya membuat sopirPak Susastio merasa tidak suka hanyamengantar anak ingusan sepertiku. Sejak saat itu aku berpikir lebih baikberangkat sekolah jalan kaki dari pada diantar pakai mobil yang hanya membuataku merasa tidak enak. Di sekolah aku mendapatkan teman-teman yang baru yangjauh lebih baik dari teman-temanku sebelumnya. Di sini tak ada yang mengejekkuanak haram, tidak ada yang menggangguku dengan menyembunyikan tasku ataumengambil buku PRku. Kadang aku merasa menang bisa lari dari semua yangmenggangguku. Namun di sisi lain aku juga harus bisa menghadapi Bapak angkatku.Aku sendiri tidak tahu bagaimana bapak angkatku yang seorang mantan Pejabat itubisa bersikap kasar dan aneh padaku. Aku benar-benar tidak mengerti.

Seperti biasaaku menemani bapak angkatku di teras. Dan seperti biasa aku hanya diam danhanya bicara kalau ditanya. Tampak mata yang sepertinya sudah lelah itumenikmati suasana taman sore itu, sebelum seseorang datang dan membawa bapakangkatku ke dalam

rumah. Orang itu adalah Pak Arian, dokter pribadi Pak Susastio. Aku masihdi teras ketika Pak Arian sudah selesai dan muncul dari pintu kemudian duduk dibangku sebelahku.

“Nama kamu Syan,ya.” Sapanya. Dijabatnya tanganku.

“Aku Arian. Akubanyak mendengar cerita tentang kamu dari Bapak”.

“Apa dia ceritatentangku?”

“ Ya Syan.Sesungguhnya Bapak tidak ingin memperlakukanmu seperti itu. Beliau cerita takutkamu  tidak tahan di sini”.

“Kenapa beliaumemperlakukan aku seperti itu?” tanyaku tak mengerti.

“Syan, kau harustahu Bapak menderita schizophrenia, semacam ketakutan tidak beralasan.Penderitaannyalah yang membuat ia bersikap kasar. Coba kau renungkan pernahkandia tiba-tiba menjadi lembut dan seperti menyesali perbuatannya?”

“Iya”, jawabkusingkat.

“Itulahsesungguhnya sifat beliau. Dia itu sesungguhnya orangnya arif dan baik tapikehidupan telah merubah segalanya.” Tanpa sadar Pak Arian, dokter pribadi Bapakangkatku itu, cerita panjang lebar bagaimana dulu ketika Pak Susastio masihmenjadi Pejabat. Dan cerita perjuangan Pak Susastio sebelum menempati posisiitu. Bahkan sampai cerita tentang sebelah kakinya yang pincang. Dan dari semuayang diceritakan aku jadi mengerti kenapa Pak Susastio jadi seperti itu.

“Syan.” katanya.

“Yang sabar sajasama Bapak, percayalah kalau kau tahan, satu saat tidak menutup kemungkinan kaubisa jadi orang. Maksudnya disini kau bisa sekolah setinggi yang kau mau.”

“Tapi Pak…”

“Aku mengertiSyan. Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Kau seperti tak sanggup untukmenghadapi semua kan? Saya yakin dengan berjalanya waktu kalian akan salingbisa memahami. “

“Aku tidakyakin, Pak”.

“Baiklah akutidak memaksa kau untuk bertahan tapi kau pikirkan juga masa depanmu. Ok, Syan,masih banyak yang harus aku kerjakan. Sampai ketemu, ya!”

“Terimakasihuntuk nasehatnya, Pak”.

“Sama-samaSyan.” Setelah kepergian Pak Arian aku segera masuk ke dalam. Kulihat Bapakangkatku tertidur pulas di Sofa dengan mulut menganga. 

“ Syan”, Suaralembut mba Larasati  di belakangkumengagetkanku.

“Mumpung Bapaktidur, sudah kamu istirahat sana.”

“Iya, mbaterimakasih.”

“Syan, kamusudah makan belum?”

“Sudah kok mba,tadi bareng Bapak”.

“ Ya sudah kamunaik ke kamar, istirahat.” Tanpa membuang waktu lagi aku segera meninggalkanmba Larasati, membuka pintu kamarku dan menghempaskan tubuh lelahku di tempattidur. Rasanya tidak bisa dipercaya,  bagaimana mungkin mantan pejabat yang terlihat arif di media–mediaternyata memiliki sisi lain yang bertolak belakang dengan kehidupannya dimasyarakat. Dan kenapa harus aku yang jadi korban pelampiasan amarahnya. Kenapaaku? Apa salahku?  Ya, salahku karena akuaku berada di sini. Kalau aku tidak ada di sini tentu hal ini juga tidak akanterjadi. Ini juga karena salahku. Baiklah tidak apa-apa, aku akan mencobabertahan demi sekolahku. Apa pun yang terjadi aku harus sekolah. Aku harus bisa,aku harus bertahan. Aku harus bertahan, tekadku. Kucoba memejamkan mataku untukmelepas lelah, untuk mengumpulkan energi yang mungkin akan terkuras menemaniBapak angkatku nonton TV. Memang ini tidak menguras tenaga tapi cukup mengurasperasaan. Dan aku harus membunuh perasaan, bahkan harga diriku saat aku beradadi sampingnya. Hanya dengan begini aku bisa melewatinya. Dan aku memang harusbisa melewatinya. Ini lebih baik dari pada aku melihat Ibu dengan laki-laki dirumah. Lebih baik aku berada di sini. Paling tidak aku cukup makan dan tetapbisa sekolah meskipun aku harus membunuh rasaku, meskipun aku harusmengesampingkan harga diriku. Apalah artinya harga diri. Tak apalah aku sepertianjing yang harus menurut berada di sampingnya. Tak  apa jika aku harus menjilat kakinya. Tidakapa. Dan tidak apa jika aku harus dipaksa makan makanan yang  tidak biasa. Aku bisa memuntahkan kembali ditoilet. Yang penting aku tidak melihat Ibuku dengan laki-laki. Aku benci Ibu.Aku benci…aku benci ayahku. Jika mereka bersatu, mungkin aku tidak harus beradadi sini. Tapi kurasa mereka tidak punya kasih sayang . Mereka tidak punyacinta. Yang ada di hati mereka hanya nafsu... ya mungkin aku dilahirkan hanyadari nafsu mereka. Mungkin memang di dunia ini tidak ada kasih sayang. Mungkindi dunia ini memang tidak ada cinta. Cerita tentang beningnya hati, nalurikasih sayang dan ketulusan cinta, itu mungkin hanya ada di novel-novel,sinetron dan film-film. Mungkin di alam nyata hal itu tidak akan terjadi.Mungkin semua orang sudah terlalu sibuk memikirkan ego mereka sendiri hinggatak ada lagi naluri. Tak ada lagi ketulusan dan aku berada di sini hanya untukpelampiasan amarah, tak lebih. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia maumenyekolahkan aku. Siapa yang mau rugi. Semua memang ada harganya. Dan sekarangaku harus membayar mahal hanya untuk sekolahku. Aku harus menghadapi seseorangyang mungkin bisa saja membunuhku jika ia lepas kontrol. Itu bisa saja terjadi.Kini aku mengerti apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi semuanya. Ya...aku harus menghadapinya, apa pun itu. Aku lelah dan terlelap entah sudah berapalama sebelum kembali kudengar panggilan Bapak angkatku. Aku segera berlariturun ke bawah cepat-cepat. Aku harus cepat berada di depannya. Kalau tidak diaakan segera membanting sesuatu.

“Syan…Syan..”masih kudengar suara khasnya dan aku mempercepat lariku.

“Kemana saja,dipanggil tidak segera datang?” tanyanya ketika aku sudah berada di depannya.Aku tidak boleh gugup. Aku harus membunuh rasa gentarku. Kalau aku gugup, ini

akan menjadi masalah lagi buatku.

“Kan, masihturun Pak. Kamar Syan kan di  atas”,  jawabku mencoba untuk tenang.

“Di atas terus,jadi burung nanti kamu.” Rasanya aku ingin tertawa mendengar apa yangdiucapkanya…haha... dalam keadaan begini pun aku masih bisa tertawa. Kau memanghebat Syan. Aku menyemangati diriku sendiri.

“Kenapacengar-cengir?” bentaknya, dan aku sudah tidak takut lagi mendengarbentakannya. 

“Ah, enggak kokPak“, Pak Susastio mengambil sesuatu di meja, sepiring buah yang sudah dikupas.

“Ini apa?”tanyanya.

“Buah, Pak.”

“Habiskan.”Tangan rapuh itu menyodorkan sepiring buah itu ke depan mukaku. Dan aku kembaliseperti binatang yang harus melahap cepat makanan yang diberikan tuannya.Jangan-jangan makhluk tua ini sudah menganggapku binatang.. .haha... mungkinmenjadi binatang lebih baik. Aku tak perlu merasa iri. Aku tak perlu merasasakit hati, dan aku tidak akan punya masalah. Mungkin genap setahun saja akuberada di rumah ini. Sisi manusiaku akan terkikis hilang. Mungkin aku akan jadianjing yang berwujud manusia, yang setiap hari berada di dekat tuannya. Dipaksa makan, menerima bentakan.Dan diberi uang.

Tapi apakah binatang butuh uang…?... haha... aku tertawa sendiri.

“Syan“, pekikIbu Lenny, istri Pak Susastio, seraya menarikku ke belakang. Sementara PakSusastio hanya melihatku melotot. Aku diseretnya ke dapur dengan mulut yangmasih penuh dengan buah.

“Syan ,” ucap BuLenny lagi.

“Tadi kulihatkau tertawa sendiri, jangan sampai kau menjadi gila seperti Bapak. Kau haruskuat. Kau harus tahan. Kau mengerti?“, aku hanya diam dan menatap perempuan,istri mantan pejabat itu. Kalau kau jadi aku, kau tidak akan tahan”, bathinku.

“Ini, pegang.“Bu Lenny mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Beberapa lembar ra-

tusan ribu.

“Gunakan untukkesenaganmu, kau tidak boleh stress”, ucapnya. Sebelum kumasukkan uang itu kedalam sakuku kudengar lagi teriakan bapak angkatku.

“Syaaaan..” Akusegera berlari, tidak mempedulikan Bu Lenny yang masih terpaku melihatku.

“Iya, Pak”,kataku setelah aku berada di depannya.

“Kamu, Syankan?”  

“Ya Pak.”

“Kenapa kamukesini? Mana Sum? Panggil sini. Kamu Syan bukan Sum.” katanya. Sum ada-

lah pembantu di rumah ini. Lega rasanya, aku segera memanggil mbok Sumdan dialah sekarang yang menggantikan semua penderitaanku.

Sekarang akutahu bagaimana agar aku tidak terlalu banyak kontak dengan Bapak angkatku.  Aku ikut kegiatan ekskul. Aku ikut band danjuga Pecinta Alam yang kelihatan berani dan gagah. Tapi sesungguhnya waktulatihan aku banyak cengengesan dan banyak bikin ulah. Entahlah, akhir-akhir inikurasa aku pun mulai gila. Aku mulai mencari-cari perhatian. Aku mulai senangketika banyak mata mulai tertuju padaku. Ada sensasi tersendiri ketika semuaorang memperhatikan aku. Sebelumnya aku tidak begitu mungkin. Ini karena imbasdari kekerasan psikis yang dilakukan Pak Susastio padaku. Namun demikian apapun yang aku lakukan, semua teman di kelasku mendukungku. Entah merekamendukung  hanya karena aku Anak angkatPak Susastio. Atau memang dari pembawaanku. Mereka tidak tahu aku yang ceria,aku yang suka membuat ulah dan mengundang teman-temanku untuk tertawa itusesungguhnya menyimpan beban yang hanya aku sendiri yang tahu. Mereka pikirberada di rumah mantan pejabat itu menyenangkan. Mereka salah. Aku memangdiberi uang lebih, tapi bukan berarti aku bahagia, bukan berarti aku senang.Selain sekolahku sesungguhnya aku di sini hanya untuk satu hal yang selalumengganggu tidurku. Kehangatan cinta keluarga yang tidak aku dapatkan darikeluargaku. Tapi yang aku harapkan sebaliknya. Dan aku mulai menertawakandiriku sendiri yang masih percaya bahwa cinta , kasih sayang itu masih ada.Diam- diam di sekolah aku mulai membuat sensasi. Aku menghimpun anak-anak yangtertindas dan yang tidak diberi uang saku lebih untuk menjadi bodyguardku,kemana-mana mereka ada di belakangku dan entah kenapa aku pun merasa amanberada di antara mereka. Dan uang saku yang diberikan Pak Susastio cukup mampuuntuk mentraktir semua teman-temanku di kelas itu. Dan seperti aku yang setiapada Pak Susastio bapak angkatku, mereka pun setia padaku. Tapi bedanya akutidak memperlakukan mereka semena-mena, dan tugas mereka hanya membuatku aman.Banyak teman-teman dari kelas lain jadi bingung bagaimana mungkin aku yangberperawakan kecil, bisa menundukkan anak-anak yang lebih besar dari aku. Akumulai berpikir bagaimanapun uang cukup berkuasa. Dan di sekolah adalah tempatkulepas dari semua penderitaanku. Bahkan aku mulai berpikir kalau aku datang disekolah bukan untuk belajar tapi untuk bersenang-senang dengan semuateman-temanku. Sepertinya ucapan Bu Susastio itu selalu terngiang-ngiang ditelingaku. Bersenag-senanglah, nak. Nikmati hidupmu. Jangan sampai kaustress hanya karena Bapak ­dan Bu Susastio tidak segan-segan untukmemberikan uang untukku agar aku bisa menikmati hidupku. Bukan hanya Ibuangkatku. Pak Susastio pun sering melemparkan uang ke mukaku. Belum lagi mbaLarasati dan mas Bima yang suka datang ke kamarku yang juga memberikan uanguntukku. Tak pernah seumur hidupku aku merasa sekaya ini. Dan di sekolah semuaorang memanggilku boss, yah, Bos kecil. Tapi aku tidak simpati dengan merekayang memanggilku bos. Aku lebih simpati pada mereka teman-temanku yangkekurangan. Aku membantunya untuk membeli buku. Untuk membeli baju seragamnyayang sudah menguning. Karena aku pernah mengalami apa yang mereka alami. Akupernah merasakan bagaimana susahnya kekurangan.   (JB) - Bersambung 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun