Bagian 6
Schizophrenia
Pagi itu diteras, dengan pemandangan taman yang luas. Hari menjelang siang hawa terasapanas. Pak Susastio teronggok di salahsatu kursi di teras itu. Sosoknya, yang dulu mungkin kekar itu, kini tersandar.Wajahnya tak menunjukkan perasaan. Matanya menatap kosong ke arah taman. Iahampir tak bergerak. Keheninganberlangsung hampir seperempat jam. Sementara aku duduk di sampingnya sepertianjing yang setia pada tuannya. Aku sendiri hanya diam tak tahu apa yang harusaku lakukan. Pak Susastio menoleh padaku, lalu menatapku tak berkedip. Dengansorot mata dingin tanpa emosi, aku jadi jengah ditatap sedemikian rupa.
Kutundukkanwajahku untuk menghindari masalah. Tiba-tiba Ia bicara.
“Kamu sudah makan?”
“Sudah, Pak,”jawabku dengan sedikit mendongakkan wajahku.
“Makannya pakaiapa?” Oh, Tuhan bukankah aku tadi makan semeja dengan dia? Apakah dia lupa?
“Hey, kalaudiajak ngomong tuh lihat ke sini”, bentaknya sambil menunjuk sendirikedua matanya.
“Lihat matasaya”. Aku tak berani menatapnya.Brak!!! Meja itu di gebrak.
“Hey, lihat matasaya,” kucoba beranikan diri menatap matanya dan mengangkat mukaku.