Mohon tunggu...
Mohammad Imam Ghozali Fajar S
Mohammad Imam Ghozali Fajar S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Islam Malang

Manusia biasa yang berusaha bermanfaat di segala bidang kehidupan. Saya beranggapan bahwa menulis menjadi salah satu aspek untuk saling berbagi pemikiran yang tidak dapat disampaikan melalui tuturan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kuda Lumping Tergantung

19 Maret 2024   23:01 Diperbarui: 19 Maret 2024   23:07 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cring.. cring..

            Aku terkejut hingga bangun dari tidur.

            Cring.. cring...

            Aku mengingat suara apa itu? Sepertinya tidak asing dengan suara ini.

            CRIING... CRIINGG...

            Suara bergemerincing semakin keras terdengar. Aku menarik selimut hingga menutupi wajah.

            "Oiya, di dapur ada kuda lumping digantung," gumam Pandu.

            Pikiran saat bangun tidur memanglah kacau. Raga dan jiwa seakan tidak menyatu. Pandu tidak dapat berpikir jernih.

            Kini, suasana panas menyelimuti tubuhku. Selimut kembali disingkap. Pandangan kosong menatap susunan kayu atap rumah. Aku menatap tajam ke arah sela-sela genteng.

            Kilatan cahaya seperti tatapan mata muncul dari celah kecil di genteng. Beberapa detik kemudian tatapan itu hilang.

            Hawa panas yang menyelimuti sirna sekejap. Aku kembali menarik selimutnya sembari mencoba memejamkan mata. Terbayang-bayang kilatan cahaya yang baru aku lihat.

            Entah mengapa tiba-tiba bayangan kuda lumping menghantui pikiranku.

            "Apakah suara krincingan mengundang makhluk halus?"

            Suara bergemerincing itu biasanya berasal dari gongseng. Gongseng biasanya digunakan pemain kesenian jaranan pada kakinya. Apalagi kesenian jaranan selalu berkaitan dengan mistis. Alhasil dalam benakku muncul bayangan kuda lumping di dapur.

            "Pandu.. Pandu.." panggil Ibu.

            Gambaran kuda lumping menyeramkan dibuyarkan dengan suara panggilan dari Ibu.

            "Ayo udah jam 6 loh,"

            Ibu membuka gorden kamar sehingga sinar matahari sontak menyorot mataku. Aku tersadar ternyata sudah pagi. Aku bersyukur dapat terlelap hingga pagi. Kejadian-kejadian aneh semalam cukup membuatku lelah hingga aku tertidur.

            Aku langsung beranjak dari ranjang kemudian bergegas mandi. Ketika aku berjalan ke kamar mandi, aku menatap kuda lumping yang digantung di sebelah pintu kamar mandi. Rambut kudukku langsung berdiri lalu merinding sekujur tubuh. Tanpa terlalu mempedulikannya, aku lanjut mandi.

            Selepas mandi, ibu telah menyiapkan sarapan di meja makan. Ayah telah duduk bersiap mengambil nasi. Aku menarik kursi untuk duduk. Hari ini Ibu merebus kancang panjang, bayam, dan tauge untuk dijadikan kulupan. Untuk memenuhi protein, Ibu menggoreng ayam, tempe, dan tahu. Aku mengambil semua lauk di piring, kemudian menyiramnya dengan bumbu pecel.

            "Ayah kapan tampil jaranan lagi?" tanyaku sambil menyiram bumbu pecel.

            "Nanti sore, Le."

            "Tampil di mana?"

            "Di lapangan depan kantor desa."

            Aku hanya mengangguk. Aku masih sedikit takut dengan kejadian semalam, namun aku penasaran 'apa benar krincingan bisa manggil makhluk halus?'. Pertanyaan itu terus berkutat dalam pikiranku.

            Sarapan hari ini tetap terasa nikmat meskipun pikiran sedang sesat. Ya, sesat karena bunyi krincingan. Memang bumbu pecel tiada lawan. Setelah makan, aku berjalan kaki ke sekolah. Aku hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai di sekolah.

            Teeng.. Teeng.. Teeng..

            Bel sekolah berdentang keras.

Aku melihat Pak guru sudah siap menutup gerbang, aku berlari agar tidak telat. Terlambat sedikit saja, aku pasti sudah berada di luar gerbang.

Nafas masih terengah-engah, pundakku ditepuk seseorang. Aku menoleh ke belakang, ternyata Aldi yang menepuk.

"Haha.. Pandu selalu telat ya," ejek Aldi kepadaku.

Aku hanya mengerutkan dahi sebagai tanda tidak setuju. Padahal Aldi lah yang setiap hari telat.

Ketika masuk kelas, Toni telah menyambut kita. Toni adalah orang yang selalu datang tepat waktu diantara kami bertiga. Dia juga yang paling pintar. Sedangkan Aldi adalah orang yang paling tidak displin. Hari ini saja dia tidak memakai dasi, pasti alasannya karena lupa.

"Aku punya cerita seru," bisikku kepada Toni.

"Cerita apa?" teriak Toni dengan semangat

"Nanti waktu istirahat saja," jawabku

Toni mengancungkan jempol arti setuju. Aldi penasaran dengan apa yang dibicarakan aku dan Toni. Aldi merengek ke Toni agar ia juga diceritakan. Toni hanya diam tidak menghiraukannya.

Aldi semakin merengek-rengek seperti anak kecil. Dia menarik-narik baju Toni. Toni merasa rishi, tapi dia hanya diam. Seperti anak balita rewel, Aldi semakin mengeraskan suaranya.

"Ekhem.. Aldi ngapain itu? Ayo duduk," kata Pak Ipang dengan suara lantang.

Aldi sontak terkejut. Dia tidak tau jika Pak Ipang sudah masuk kelas. Aldi terbirit-birit menuju bangkunya sambil menahan malu.

Teng..

            Bel sekolah berdentang tanda jam istirahat dimulai.

            Sebagian siswa berlarian ke kantin. Sebagian siswa yang lain berlarian ke lapangan. Hanya sedikit siswa yang tetap di kelas.

            Aku, Toni, dan Aldi sudah melingkar untuk bercerita.

            "Aku mengalami hal aneh di kamar semalam," aku memulai cerita sambil memangku tangan.

            "Aneh?" tanya Aldi dengan mata berbinar.

            "Iya, semalam ada suara krincingan tiga kali. Suara pertama dan kedua pelan. Namun suara yang ketiga keras banget. Lalu..."

            "krincingan jaranan?" tanya Aldi memotong pembicaraanku.

            "Iyaaa jaranan. Lalu aku enggak bisa tidur karena semua badanku terasa panas. Tapi setelah aku melihat ada cahaya lurus masuk ke kamar dari genteng, semuanya semula jadi biasa," lanjutku.

            Prang!

            Tiba-tiba Toni dengan sengaja menyenggol kotak pensilnya yang berasal dari besi.

            "AAAAA..." teriak Aldi.

            Suara kotak pensil jatuh membuyarkan kosentrasi Aldi. Rasa takut Aldi sudah sampai ke ubun-ubun. Aku cukup terkejut, namun Toni malah tertawa terbahak-bahak.

            "Kurang ajar kamu Ton," ujar Aldi.

            "Hahaha gapapa, biar seru ceritanya harus ada jumpscare seperti film-film horror," jawab Toni sambil tertawa.

            Aku hanya tersenyum.

            "Ih nakutin banget, Ndu. Katanya nenekku suara krincingan itu bisa mengundang setan. Jadi kalau semakin kecil suaranya maka setan semakin dekat, namun jika suaranya semakin keras maka setan sudah pergi jauh mangkanya dia menandakan dengan suara keras," kata Aldi dengan semangat

            "Oalah gitu ya Al," jawabku.

            Toni hanya menyimak perkataan dari Aldi. Dia berpikir apakah ceritanya ini benar dari neneknya atau tidak karena Toni sering mengarang cerita.

            Terdengar suara kursi ditarik, kami bertiga langsung menoleh ke arah suara.

            "Di mana teman-temannya? Saya akan memberikan tugas karena saya sebentar lagi ada tugas di luar kota," ujar Pak Ipang.

            Kami bertiga terkejut, tiba-tiba Pak Ipang telah masuk kelas saat asik bercerita. Waktu istirahat belum usai, namun Pak Ipang masuk terlebih dahulu untuk memberi tugas karena beliau akan ke luar kota.

            Teman-teman berlarian menuju kelas setelah Aldi memanggil dari depan pintu kelas.

            Teeng.. Teeng.. Teeng..

            Bel sekolah berdentang tanda pembelajaran hari ini telah usai

            Panas terik matahari membuatku berkeringat. Angin kering menyapu debu ke arah wajahku. Tenggorokan terasa kering sekali. Aku mengajak Aldi dan Toni untuk membeli es teh lalu pulang bersama.

            Terdengar alunan suara gamelan dari kejauhan. Terlihat ramai orang-orang mengelilingi lapangan. Tercium bau kemenyan menyengat ke dalam hidung. Kami bertiga tertarik menuju tempat tersebut.

            Aku baru ingat bahwa akan ada pertunjukan jaranan sebagaimana Ayah tadi beritahu kepadaku. Aku menarik kedua sahabatku untuk belari ke lapangan.

            Konon Tari jaranan sudah berusia ratusan tahun, namun sampai saat ini tetap dilestarikan. Tari jaranan dianggap sebagai symbol pemersatu rakyat antara pelaku seni dan juga penikmatnya yang sering disebut guyub rukun.

            Cettar.. Cettar.. Cettar..

            Suara lantang cambuk atau cemeti ke arah tanah dilakukan oleh pemimpin pertunjukan sebagai tanda pertunjukan dimulai dengan sebutan bukak kalangan.

            Alunan gamelan dengan suara terompet syahdu mengiringi hentakan kaki dari penari. Penari berjalan sembari menaiki kuda lumping berasal dari anyaman bambu. Lenggokan badan seirama dengan gerakan kuda. Tatapan mata memberikan arti yang mendalam. Aku sangat terpukau.

            Cettar.. cettar.. cettar..

            Cemeti kembali menyentak. Suasana jadi berubah. Ritme lagu cenderung cepat. Bau kemenyan semakin menyengat. Penari menari seakan tanpa rencana.

            Satu persatu penari berjatuhan, namun setelah bangun penari malah bertingkah aneh. Ada yang menari tanpa arah, ada yang mencium asap kemenyan, ada yang memakan barang-barang aneh; seperti botol kaca, piring, ayam mentah dan sebagainya. Ternyata mereka kerasukan makhluk halus.

            Sontak terbayang kejadian semalam. Aku semakin takut dengan jaranan.

            Dua jam berlalu, pertunjukan tari jaranan telah usai.

            Matahari tergelincir ke arah barat dengan semburat cahaya jingga muncul diantara awan putih petanda hari sudah mulai petang.

            Aku berpamitan kepada teman-temanku untuk pulang. Aku juga mengingatkan mereka untuk nanti menginap di rumahku.


            "Assalamualaikum.. "

            Suara yang tak asing di telingaku, pasti Aldi dan Toni.

            "Waalaikumsalam, masuk saja."

            Benar dugaanku. Aldi dan Toni yang datang. Mereka membawa permainan kartu remi dan monopoli. Ternyata Toni tidak lupa membawa bedak tabur sebagai hukuman bagi yang kalah.

            Selang beberapa menit satu ruangan keluarga terisi suara terbahak-bahak bahkan suara televisi pun nyaris tidak terdengar.

            Di tengah-tengah keseruan, tiba-tiba listrik padam.

            Suara tertawa yang menyertai permainan berubah menjadi keheningan. Tatapan mata tajam mengamati sekitar.  Hawa dingin menggelitik tengkuk leher mengakibatkan rambut kuduk bergetar.

            "Pandu, gimana ini? Aku takut," ucap Toni.

            "Duh, Ayah dan Ibuku sedang tidak di rumah. Aku tidak bisa menghidupkan listrik kembali," jawabku.

            "Di mana meteran listriknya?" tanya Aldi.

            "Seingatku ada di samping dapur."

            Aldi menarik aku untuk mengajak ke dapur. Aku ragu untuk ke belakang setelah melihat lorong gelap yang tidak sedikitpun ada secercah cahaya. Namun jika listrik padam, maka keadaan akan semakin tidak kondusif. Aku memutuskan untuk berani.

            Criing.. Cringg.. Cringg..

            Langkah kakiku langsung berhenti. Jantungku terasa berdetak dengan cepat. Keringat dingin bercucuran membasahi dahi. Rambut kuduk memberikan sinyal keadaan tidak baik di sekitar.

            "Su.. su.. su.. ara apa itu?" tanya Aldi dengan suara gagap.

            Aku hanya menggelengkan kepala. Pikiranku hanya membayangkan semua ini terjadi karena kuda lumping di belakang.

            "Sudah tidak ada apa-apa. Ayo cepetan!" gertak Toni.

            Kami berjalan menyusuri lorong gelap gulita yang terasa jauh sekali dengan mengamati sekitar untuk memastikan semua aman.

            Setelah sampai di dapur semua tidak terlihat. Cahaya hanya berasal dari pantulan cahaya dari luar di besi wajan yang digantung. Tetapi herannya mengapa pantulan cahaya itu hanya menyorot ke kuda lumping yang juga tergantung di dekat kamar mandi.Aku berusaha berpikir positif, mungkin ini hanya kebetulan.

            Aku bergerak untuk meraba dinding, kali ini aku yang di depan. Seingatku meteran listrik berada di luar lalu di sebelah pintu samping.

            Criiiiinnggg... 

            Saat tanganku akan menyentuh ganggang pintu, terdengar suara gongseng yang sangat keras. Kami bertiga berusaha tidak menghiraukannya.

            "Bau apa ini?" tanya Aldi sambil memandangi Aku dan Toni.

            Tercium bau khas dari kesenian jaranan. Ya, bau kemenyan menyergap hidung. Bau kemenyan seakan menguatkan hal mistis.

            Aku melihat kedua temanku sepertinya sudah sangat ketakutan, demikian juga aku. Langsung saja aku mencoba untuk menarik tuas meteran listrik, namun yang kulakukan sia-sia. Listrik tidak dapat nyala. Rasanya semakin menyebalkan.

            "Toilet dimana ya? Aku sakit perut," ujar Toni.

            "Toilet disitu!" jawabku sambil menunjuk ruangan dengan pintu dari kayu tua dengan tombak penuh dengan lumut dan retakan.

            "Aku juga mau buang air besar," celetuk Aldi. Toni memasang mukam masam, sedangkan aku hanya diam tak berekspresi. Aku sudah hafal dengan kelakuan Aldi, selalu ikut-ikut.

             Alhasil kami bertiga berjalan ke toilet. Toni yang masuk terlebih dahulu.  Aku dan Aldi menunggu di luar.

            Bulan purnama menjadi satu-satunya sumber cahaya untuk mala mini. Bintang-bintang tidak terlihat jelas karena mendung. Langit terlihat akan hujan, karena beberapa cahaya kilat terlihat dari kejauhan.

"Jika malam ini hujan pasti lebih menakutkan," pikirku.

            Bau kemenyan yang semakin kuat membuyarkan lamunanku, ditambah suasana di luar terlihat semakin luas, semakin menakutkan. Aku semakin takut, apalagi Aldi. Aldi mengetuk pintu toilet meminta Toni membukakan pintu.

            "Sebentar," kata Toni

            Aldi sudah tidak sabar, dia mendobrak pintu toilet akibatnya pintu terbuka. Toni hanya melongo melihat kami berdua ketakutan. Tanpa piker panjang Aku dan Aldi masuk ke dalam dan menutup pintu.

            Ekpetasi ingin berlindung di toilet, eh realitanya malah semakin ketakutan. Toilet tidak beratap, sehingga dalam pikiranku seperti ada yang mengintip di balik tembok seperti di film-film horor. Pintu yang berasal dari kayu yang sudah lapuk meninggalkan lubang-lubang kecil dari luar. Kita bisa melihat keadaan di luar dari lubang-lubang tersebut.

            Dalih ingin melihat keadaan di luar, aku dikejutkan dengan bayangan hitam dibalik sorotan lampu berwarna kuning. Sontak, aku berteriak. Aldi dan Toni juga ikut terkejut dengan teriakanku. Aku gemeteran serta tidak bisa menjawab ketika mereka bertanya 'ada apa?'.  Aku hanya menggelengkan kepala menandakan sesuatu yang tidak baik di luar.

            Toni mencoba untuk mengintip di luar, dia berkata jika tidak ada apa-apa. Lalu Aldi mencoba untuk mengintip juga. Tiba-tiba dia berteriak sangat kencang bahkan dia menangis.

            Kreeek...

            Pintu toilet terbuka, kami lupa menguncinya.

            Sosok hitam besar menutupi sorot cahaya dari luar. Wajah seram dengan taring putih panjang dan mata merah menyala beraa di depan kami. Rambut kusut terurai ke belakang dengan bau kemenyan menyengat di tubuhnya. Makhluk apa ini Tuhan?

            "Loh, Nak. Kok ada di sini?"

            Aku langsung membuka mata setelah mendengarnya. Ternyata makhluk menyeramkan itu adalah Ayah, Ayah menggunakan topeng ganongan yang biasa dipakai saat pertunjukan jaranan. Aku langsung lega. Aku sudah berpikir jika kami akan diculik makhluk menyeramkan.

            Kita bertiga ditanya dengan Ayah dan Ibu mengapa kita bisa berada di toilet bertiga. Aku bercerita tentang kejadian yang dialami mulai dari kemarin. Mulai dari suara gonseng hingga kejadian malam ini.

Ketika aku hendak bercerita, suara gongseng terdengar keras di balik semak-semak. Tapi setelah terdengar suara gongseng diikuti suara mengeong.

"Kurang ajar, ternyata itu kucing." Aku menggerutu.

"Jika suara gongseng berasal dari kucing, lalu dari mana bau kemenyan?" tanya Toni.

"Dari pohon kemenyan lah," jawab Ibu sambil menunjuk salah satu pohon di belakang toilet.

Pohon kemenyan akan menimbulkan bau yang sangat kuat sembari mengeluarkan getah dari pohonnya.

"Ya Tuhan, berarti selama ini aku berhalusinasi," teriakku.

Gelak tawa memecah suasana yang sejak tadi menyeramkan. Lampu rumah sudah menyala, kemudian kita semua masuk rumah untuk makan malam. Kebetulan malam ini Ibu membeli pecel tumpang yang sangat lezat.

Saat aku berjalan tiba-tiba aku mencium bau aneh tapi aku sudah familier.

"Bau apa ini?" tanyaku.

"Bau dari aku," jawab Aldi dengan gugup.

Semua menoleh ke belakang dan melihat Aldi sedang memegang celananya yang basah. Ternyata bau yang familier tersebut berasal dari celananya Aldi yang sudah basah dengan air kencingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun