Aku berhenti sejenak dan melirik ke dalam lewat pintu pagar. Tiba-tiba seorang penyapu jalan menghampiriku.
“Cari siapa, Mbak?”
“Yang punya rumah kemana ya, Bu?” tanyaku.
“Sejak bercerai minggu lalu, istrinya balik kampung. Pak Harry gak pernah terurus. Padahal mereka baru menikah 3 bulan. Dia sakit jantung dan besoknya meninggal,” jawabnya lalu pergi.
Aku diam sejenak. Kaget.
Gerbang itu tidak dikunci. Aku masuk ke dalam. Ada kepala boneka Upin di atas meja teras. Kubawa dan kutaruh di motor. Aku beranjak meninggalkan rumah kosong itu.
Sesampai di rumah, kucari, kupeluk dan kucium ibuku sambil meneteskan air mata. Belum pernah aku merasakan sedih sebenar-benarnya sedih.
Ibu kaget dan ikutan menangis.
***
Pagi ini kami sudah ada di panti jompo. Ibu ikut denganku. Kawan-kawan sudah beratraksi dengan kostum boneka masing-masing. Para lansia senang dengan kehadiran mereka. Tapi tidak dengan nenek yang bisu. Dia duduk di sudut samping TV terlihat murung dan sedih.
Aku pun berinisiatif memakai kostum boneka Upin kemudian perlahan menghampirinya. Seketika tangis sang nenek meledak. Meraung-raung dengan bahasa tubuhnya sendiri. Dipeluknya tubuhku erat. Kurasakan rasa rindu mendalam dari pelukan itu. Raut wajahnya kembali ceria dan bahagia. Dia pasti menyangka aku adalah anaknya.