Dia menyeka air matanya.
“Kamu sudah yakin dengan perjodohan itu?”
“Yang penting ibu juga bahagia,” jawabku tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya dengan kedua telapak tanganku.
Ibu hanya mengangguk. Dilepaskannya dekapan. “Berangkatlah, Nak. Hati-hati ya.”
Kotak berisi boneka sudah kurapikan dan kuikat di atas jok motor matik. Sesekali aku melirik mata ibu yang masih sembab.
"Da, Ibu...."
Sepanjang jalanan, macet. Aku teringat akan Mas Pram, tunanganku. Aku sebenarnya tidak mencintainya. Tapi karena ayah dulu berhutang pada ayahnya, aku menjadi syarat. Ya, calon istri bagi anaknya. Tidak apa-apalah, kan ayahnya juga teman dekat ayahku. Banyak juga kok orang dijodohkan dan hidup bahagia.
Di satu titik lampu merah kulihat sebuah boneka jalanan sedang berjoget. Aku ikut senyum-senyum sendiri merasa terhibur.
“Woi, minggir ! jalan jadi macet! Teriak salah satu pengendara ojek online di depanku.
Boneka Upin persis dalam serial anak-anak kulihat masih mencoba menghibur si pengendara ojek. Dia menyodorkan kardus air mineral yang kosong untuk menampung sumbangan. Apes, kardus itu ditepis dan uang receh pun berhamburan. Boneka jalanan memungut satu per satu uang yang berceceran. Saat lampu hijau, semua malah berjalan pergi meninggalkannya.
Kupinggirkan sepeda motor ke samping trotoar. Uang receh pun kukumpulkan.