“Sering, tapi belakangan ini nggak pernah lagi. Biasanya dia menyamar pake kostum bonekanya.”
Aku tersentak kaget. Ternyata boneka Upin memiliki seorang ibu di panti jompo itu.
“Maaf, apa Mbak tahu dimana alamat anaknya ? Saya bantu sampaikan pesan.”
“Percuma Mbak.”
“Kenapa?”
“Rumahnya hanya di ujung jalan ke pasar dekat sini. Itu tuh jalan ke kiri dari simpang taman. Istrinya gak pernah suka lelaki itu untuk mengunjungi ibu sendiri.
"Hah? Istri?" tanggapku dengan wajah sedikit memelas.
"Ya, istrinyalah yang minta nenek ini untuk dimasukkan ke panti jompo. Katanya merepotkan. Bisu. Kurang waras,” ucapnya, “kalo nyamar jadi badut lelaki itu bisa kumpul uang untuk ibunya di sini. Biar istrinya nggak tahu. “
Aku merasa miris. Aku terngiang ucapan ibu. Sering kali dia menangis tapi tak pernah menjelaskan alasannya. Sejak ditinggal mati ayahku, kesedihannya makin bertambah. “Apa mungkin ibu khawatir setelah menikah nanti aku akan melupakannya? Atau suamiku kelak yang akan melarangku mengurusnya?”
Aku menggelengkan kepala. Tak lama, aku pamit dari panti jompo itu. Namun mataku masih terpaku pada nenek yang bisu. Nenek yang kerap merindukan anaknya.
Saat berbelok di simpangan, kuberpapasan dengan rumah yang dimaksud. Hanya ada satu rumah berdiri di simpang itu. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Rumah besar dengan pekarangan luas tapi tak terawat. Dedaunan kering dari sebatang pohon mangga besar berserakan. Ada tulisan di gerbang kalau rumah itu telah disita bank.