Entah bagaimana pula aku harus menyampaikan kabar tentang kematian anaknya itu. Aku bingung sambil menangis di balik kepala boneka yang kupakai. Aku berputar dan bertepuk tangan mengikuti musik yang diputar oleh Dori yang sambil bernyanyi.
Kulihat di pintu masuk, ibu menitikkan air mata. Lebih deras dari biasanya. Sekarang, baru tahu alasannya kenapa selama ini ibu menangis di rumah.Â
Dari kantongku suara telepon genggam bergetar. Mas Pram ternyata sudah telepon berkali-kali. "Kamu dengan ibu pergi kemana saja sih? Sudah ditelpon seratus kali!" isi pesannya. (*).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H