Semua bergegas memakai kostum boneka yang sudah dibawa masing-masing.
Satu jam lamanya beratraksi di jalanan membuat badanku pegal. Belum lagi, Dori teman lelakiku yang cerewet sibuk mengeluh karena beratnya boneka yang dipakai. Memang panas terik menghujam tembus ke dalam kepala boneka.
Aku duduk di bawah pohon palem pinggir trotoar. Kuteguk air dari botol yang kubawa dari rumah. Saat melirik ke kanan, mataku terarah pada boneka di pojok belakang taman. “Bukankah itu boneka Upin yang kutemui tadi pagi?” Aku bergegas ke sana. Masih menggunakan boneka, aku berlari menghampirinya. Karena buru-buru kakiku terpeleset dan jatuh berguling di taman. Untung saja aku jatuh di atas rerumputan.
“Mari saya bantu,” sodor lelaki itu.
Aku menepis tangannya karena merasa mampu sendiri.
“Kenalin, aku Upin” ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku pun ikut tertawa.
Tak sempat bercerita banyak, boneka Upin melihat ke langit. Matahari tepat di atas kepala kami. Dia tanpa basa-basi pergi meninggalkanku.
“Benar-benar aneh tuh orang,” ujarku dalam hati.
Aku pamit duluan dari kawan-kawan. Penasaran dengan boneka Upin, kuikuti dia pergi untuk tahu apa yang dikerjakannya siang hari. Ini bisa jadi data buat tugas skripsiku.
15 menit berjalan kaki, boneka Upin tak mau melepas kostum yang dipakainya. Dia masuk ke sebuah pelataran panti jompo. Aku terus mengikuti dari belakang.