Mohon tunggu...
Indah Anggoro
Indah Anggoro Mohon Tunggu... -

drink coffee and get inspiration ...\r\n\r\nwww.vanilaindah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dinding

7 Mei 2012   01:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:37 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prinsip yang berkembang sejak ia lahir, yang telah mendarah daging, dan mengalir dalam setiap hembusan nafasnya. Tanpa disadari telah menjadi jurang yang sangat dalam. Jurang itu memang sudah ada sejak lama. Namun seketika datang menyadarkan Annisa, seiring dengan rasa cinta yang perlahan tumbuh di hatinya.

***

Dulu saat masih kecil, ketika Radit sedang bermain gitar di teras rumah, Annisa pasti langsung menyusul Radit dan bernyanyi bersama hingga berjam-jam. Tapi sekarang Annisa hanya bisa mendengarkan alunan gitar Radit dari teras rumahnya sendiri. Jika dia ikut bernyanyi bersama Radit, Annisa akan mendapat delikan yang tajam dari abinya. Abinya bilang bahwa menyanyi itu pekerjaan setan untuk menggoda manusia.

Sekarang Annisa sudah sangat puas hanya dengan mendengar dentingan gitar Radit dari balik dinding terasnya.

Annisa tersenyum-senyum sendiri di teras rumahnya saat Radit memainkan lagu balonku ada lima. Suara Radit terdengar konyol saat bernyanyi-nyanyi. Annisa lalu melongokkan kepalanya di dinding yang menjadi batas rumahnya dengan rumah Radit. Komunikasi antar dinding memang sering terjadi diantara mereka.

"Radit jelek! Nggak ada lagu lain apa?"

"Annisa onye', bosen nyanyi lagu unyu-unyu terus." Radit memang suka sekali memanggil Annisa dengan sebutan Onye. Onye' adalah plesetan dari kata monyet. Bukan wajah Annisa yang seperti monyet, tapi rambut alis Annisa tebal sekali mirip bulu monyet. Kedengarannya memang aneh dan tidak masuk akal. Annisa kan cantik dan tidak mirip monyet sama sekali. Tapi ya memang begitulah mereka.

"Kan nggak harus lagu unyu-unyu jugaa..."

"Haha, iya sih Nis."

"Lagu cinta dong, Dit."

"Yah, unyu-unyu lagi dong Nis. Oke deh, buat kamu apa sih yang nggak, Nis. Haha..."

"Dasar! Radit jelek tukang gombal."

Radit lalu memainkan kembali jari-jarinya pada senar gitar. Dia memainkan lagu 'I can't help'nyaRichard Marx. Radit benar-benar menghayati lagu romantis itu, sampai menyanyikannya dengan mata terpejam. Suara Radit terdengar lumayan bila menyanyi sedikit serius.

"Wish men say, only fool rush in ... But I can't help falling in love with you..."

Nyanyian Radit terhenti, saat melihat pipi Annisa yang bersemu merah. Radit begitu terpana. Gadis cantik itu tersenyum sambil tersipu. Hidungnya yang menjulang dan alisnya yang tebal melukis senyum yang indah di wajah Annisa. Annisa salah tingkah saat melihat Radit memandangnya. Beruntung Uminya segera mengajaknya untuk makan siang.

"Annisa, makan dulu nak..."

"Iya, Umi. Aku makan dulu ya, Dit." Ujar Annisa sambil tersenyum sedikit kikuk.

Radit mengangguk dan tersenyum. Annisa pun segera beranjak dari dinding teras dan masuk ke rumah.

"Nak Radit, sudah makan belum? Mau makan bareng sama Annisa?" Umi Annisa menawarkan makan siang pada Radit.

"Ah, nggak usah tante, makasih." Jawab Radit sambil tersenyum.

"Ya udah kalo gitu, tante masuk dulu ya."

"Iya tante, silakan."

***

Annisa dan uminya hanya makan siang berdua. Itu karena abinya Annisa masih berada di kantor. Annisa sangat menikmati makan siangnya. Setelah makan siang habis, Annisa tidak langsung meninggalkan meja makan. Dia menatap dalam-dalam Uminya yang masih terlihat menghabiskan makan siang. Annisa tidak berkedip, dia melihat dirinya dan Uminya berbeda. Uminya memakai hijab dan dia tidak.

"Umi, gimana rasanya pakai hijab?"

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya seperti itu sama umi nak?"

"Annisa kan udah pernah janji, umi. Annisa ingin pakai jilbab saat Annisa sudah baligh. Annisa rasa ini sudah waktunya Annisa berhijab. Annisa ingin tahu bagaimana rasanya, Umi..."

"Memakai hijab itu membuat hati umi tentram, nak. Tapi umi dan abi tidak pernah mau memaksakan kamu untuk berhijab. Lebih baik kamu berhijab atas keinginan kamu sendiri."

Annisa mengangguk-angguk. Dia begitu bangga terhadap kedua orang tuanya yang bersikap bijak padanya

"Iya, umi. Meskipun abi dan umi tidak pernah mewajibkan Annisa untuk berhijab, Annisa memang sudah sejak lama ingin berhijab. Rasanya senang sekali umi, melihat teman-teman Annisa yang berhijab. Mereka terlihat cantik dan anggun, umi."

"Iya nak, tapi ingat satu hal. Kalau kamu sudah berhijab, kamu harus membawa nama baik hijabmu. Hijab bukan hanya sekedar hiasan kepala, nak."

"Annisa sudah memikirkannya, umi dan Annisa sudah memutuskannya."

"Umi senang nak, kalau kamu mau berhijab atas keinginanmu sendiri. Kamu begitu cantik nak. Memang sudah waktunya kamu untuk menutupi auratmu."

"Kalau umi tidak keberatan, umi mau tidak menemani aku untuk membeli hijab?"

"Tentu saja sayang, dengan senang hati. Umi mau sekali."

Annisa melompat-lompat kegirangan. Dia memeluk dan menciumi uminya.

***

Annisa memandangi wajahnya di kaca. Dia menatap wajahnya dalam-dalam. Annisa tersenyum-senyum sendiri. Dia terlihat lebih cantik saat memakai hijab. Hijab-hijab yang dibelikan uminya, dicobanya satu per satu. Annisa antusias sekali.

Annisa sudah mantap. Sudah sering dia merasa iri pada teman-temannya yang memakai hijab. Sekarang memang sudah saatnya bagi Annisa untuk mengobati rasa iri itu.

Saat sedang asyik-asyiknya mencoba hijab, Annisa kaget. Uminya tiba-tiba masuk ke kamar. Annisa malu sekali.

"Ah, umi membuat Annisa kaget saja. Annisa malu, umi." Ujar Annisa sambil tersipu.

"Kenapa harus malu, nak? Coba sini umi lihat." Umi mengangkat dagu Annisa yang menunduk.

Umi memandangi wajah putri tunggal kesayangannya itu. Umi tersenyum, "Subhanallah, kamu cantik sekali memakai hijab, nak. Kamu benar-benar putri umi yang sangat cantik. Tunggu nak, abi harus lihat kamu sekarang.

Dengan tergesa-gesa, umi menggandeng Annisa keluar kamar. Mereka menghampiri abi yang sedang menonton TV di ruang tengah.

"Abi! Lihat siapa ini."

"Siapa umi?" Abi masih belum 'ngeh' dan tetap peduli pada acara TV yang dia tonton.

"Ayo Abi, cepat lihat." Ujar umi dengan tidak sabar. Abi pun menengok ke arah umi dan langsung tercengang melihat sosok gadis cantik berhijab yang berdiri di samping umi. Abi pun langsung mendekati Annisa.

"Subhanallah, ini Annisa anak kita, mi? Ya Allah, cantik sekali kamu nak. Kamu pantas sekali memakai hijab." Abi memuji Annisa hingga tersipu.

"Siapa dulu bi, anaknya umi. Cantiknya aja nurut umi." Umi membanggakan Annisa.

"Anak abi dong mi, lihat hidungnya aja mancung kayak abi."

"Hidung umi juga mancung, bi. Anak umi doong..."

Annisa tertawa. Rasanya lucu sekali melihat abi dan uminya berebut.

"Abi dan umi gimana sih? Annisa ini kan anaknya abi sama umi."

Abi dan umi pun ikut-ikutan tertawa. Mereka memeluk dan mencium pipi Annisa bersamaan.

***

Radit memandangi Annisa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Penampilan Annisa benar-benar tertutup. Radit sampai tidak sanggup lagi berkata-kata. Annisa semakin cantik dengan hijabnya.

"Annisa ..." Radit terdiam dan tidak berkata-kata.

Annisa tersipu.

"Kamu, kenapa dit?"

"Nis, sekarang kamu pakai kerudung?"

Annisa hanya mengangguk.

"Kamu kelihatan tambah cantik, Nis."

"Makasih Radit..."

Umi Annisa lalu muncul dari dalam dan mengembalikan piring milik Radit.

"Radit, bilang sama mama ya. Makasih buat kwetiaunya. Pasti sebentar lagi habis." Ucap Umi Annisa sambil tersenyum.

"Iya, sama-sama tan... Pasti aku sampaikan ke mama. Radit pulang dulu, tan .. "

"Iya, makasih ya Radit." Ujar umi Annisa.

"Nis, pulang dulu ya."

"Iya Radit." Jawab Annisa singkat. Radit pun kembali ke rumahnnya yang hanya terletak di sebelah rumah Annisa.

Bertahun-tahun, sejak Annisa masih di dalam kandungan. Tante Rosa, mamanya Radit dan umi Annisa sudah bersahabat. Ketika Natal tiba, umi Annisa pasti akan mendapatkan kunjungan cake dari Tante Rosa. Begitu juga sebaliknya. Bila Idul Fitri datang, umi Annisa membagikan lontong opor komplit pada keluarga tante Rosa. Berbagi dan bertukar makanan sudah menjadi tradisi dua tetangga ini. Mereka memang sudah lama hidup dalam toleransi.

***

Malam ini hujan turun sangat deras. Seperti biasa, menjelang imlek memang selalu turun hujan. Annisa tertegun di teras rumah. Dia sangat suka melihat hujan dan mencium aromanya. Annisa memandangi jalanan dengan tatapan kosong. Dulu, dia dan Radit masih digendong oleh ibu mereka di depan rumah. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sekarang Radit sudah menjadi sosok yang tampan, dan Annisa tumbuh menjadi gadis perawan yang begitu cantik.

Annisa menggeleng dan tersadar dari lamunannya.

Dari jalan terdengar langkah kaki. Radit terlihat membawa payung. Dia menghampiri Annisa.

"Kamu dari mana, Radit?"

"Aku habis dari gereja, Nis."

"Oh, rajin banget kamu, Dit. Hujan-hujan gini." Ujar Annisa sambil tersenyum.

"Nis, besok kamu mau nggak nemenin aku ke pecinan?"

"Ngapain, Dit?"

"Beli pernak-pernik buat imlek. Kamu mau kan?"

Annisa tercenung. Mungkin dulu dia akan langsung berkata 'ya' pada ajakan Radit. Namun sekarang, dia harus berpikir dua kali. Batas antara dirinya dan Radit sekarang semakin jelas. Annisa bingung harus menjawab apa, tapi dia tidak ingin melukai perasaan Radit. Radit adalah teman dekatnya sejak kecil. Sejak dia baru lahir di dunia pun, Radit sudah menjadi temannya.

"Radit, aku akan ikut kalau ada orang lain yang ikut juga."

"Maksudnya?"

"Kita pergi ramai-ramai, nggak berdua."

Tatapan Radit mendadak hampa.

"Iya, Nis. Aku akan ajak teman lagi."

Jawaban Radit menyiratkan kekecewaan. Annisa bisa melihat jelas kekecewaan itu. Biasanya mereka selalu bercanda, bernyanyi, dan pergi kemana pun berdua. Mereka adalah sahabat yang tidak terpisahkan. Namun sekarang mereka sudah tumbuh dewasa. Masing-masing mempunyai pilihan hidup sendiri, dan ini sudah menjadi pilihan Annisa.

***

Hujan diluar sangat deras, petir pun tak kunjung henti menggelegar. Annisa dan uminya terlihat cemas menunggu abi di ruang tengah. Abi belum pulang dari kantor, padahal ini sudah jam 8 malam. Akhir-akhir ini abi memang sering bercerita kalau dia sedang banyak masalah di kantor. Abi sudah berulang kali mengadu pada mereka tentang keinginannya untuk resign dari kantor. Berkali-kali umi menguatkan abi. Namun, pada akhirnya abilah yang memutuskan semuanya.

Umi Annisa tersenyum saat terdengar suara mobil mengarah ke rumah. Itu artinya abi Annisa sudah pulang. Umi Annisa langsung menghampiri abi yang baru turun dari mobil dan membawakan tas kerja abi.

"Abi, kenapa baru pulang?"

"Iya, mi. Abi capek sekali." Keluh Abi.

Wajah Abi terlihat muram, tidak seperti biasanya. Melihat raut wajah abinya, Annisa merasakan sesuatu yang tidak enak.

Saat makan malam berlangsung, abi tiba-tiba menghentikan makannya. Umi merasa merasa janggal dengan sikap abi.

"Abi kenapa?"

"Abi sudah memutuskan, mi."

"Memutuskan apa, bi?" Tanya Annisa. Annisa menatap abinya dengan sangat serius.

"Abi sudah memutuskan untuk resign dari kantor."

"Terus kita semua gimana, bi?"

"Kita semua pulang ke kampung halaman abi di Aceh, sayang. Kamu bisa lanjutin sekolah kamu disana, sayang..." Abi meraih dan menggenggam tangan Annisa. Abi ingin meyakinkan putri semata wayangnya itu.

Umi dan Annisa terdiam. Keputusan Abi sudah bulat.

***

Hari perpisahan itu tiba. Annisa memandangi wajah Radit untuk yang terakhir kalinya. Janjinya untuk menemani Radit membeli pernak-pernik imlek tidak bisa dia penuhi. Abi ingin mereka pindah ke Aceh sesegera mungkin.

Bertahun-tahun sejak mereka lahir ke dunia, Annisa tidak pernah melihat raut wajah Radit sesedih itu. Bola mata Radit tergenang oleh air mata. Begitu juga dengan Tante Rosa, yang tidak lepas dari pelukan uminya. Sedangkan Om Fendi dan abi terlihat sedikit bercengkerama. Merekalah yang terlihat paling tegar.

Satu orang lagi yang tidak bisa lepas dari pelukan Annisa, dia adalah Alin. Alin adalah adik Radit yang masih duduk di kelas 3 SMP. Alin menangis di pelukan Annisa, dan Radit hanya bisa mengelus-elus rambut adiknya itu.

"Kak, siapa nanti yang bakal ajarin Alin belajar?"

"Alin, kan ada Kak Radit. Kak Radit kan bakal temenin kamu belajar."

"Alin nggak mau, kak. Kak Radit nggak seperti Kak Nisa..." Ujar Alin dengan polos.

"Kakak tau, Alin. Kita bisa tetep saling berhubungan kok. Kakak janji, kakak bakal sering telpon kamu."

Alin melepaskan diri dari pelukan Annisa.

Sekali lagi, Annisa menatap wajah Radit dan itu mungkin untuk yang terakhir kalinya. Annisa menatap mata Radit dalam-dalam. Annisa tidak ingin melewatkan sedikitpun ekspresi wajah Radit untuk menatap objek lain. Hanya kesunyian yang merambat diantara mereka berdua, saat mata mereka bertemu dan bertatapan sangat lama. Annisa membisu, lidahnya begitu kelu. Selama bertahun-tahun dia bersama Radit, baru detik ini dia merasakan sesuatu. Sesuatu yang bergetar dalam jantungnya, yang membuatnya ingin mengutarakan sesuatu, namun begitu sulit.

Annisa tidak mengerti akan perasaannya sendiri, yang mendadak begitu rumit.

Sementara itu Radit hanya mampu menepuk bahu Annisa dan mengucapkan salam terakhir pada sahabat kecilnya itu.

"Nis, selamat jalan ya... Semoga kita bisa ketemu lagi."

Annisa justru hanya mengangguk, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya mulai menggenang air mata.

"I don't wanna say good bye to you. See yah, Alfonso Raditya."

Kata terakhir dari Annisa itu menutup pertemuan mereka.

***

Waktu bergulir sangat cepat. Radit tidak pernah menyangka bahwa rumah yang berada disamping rumahnya itu kini sudah dihuni oleh orang lain. Dulu gadis bernama Annisa, dengan lekuk alis indah akan selalu memanggilnya dari balik tembok teras rumahnya.

Tapi kini Radit hanya bisa mengenang wajah Annisa. Sesekali dia masih bisa memandangi foto-foto Annisa lewat akun facebooknya. Annisa akhir-akhir ini tidak pernah online. Radit merasa kehilangan sekali. Biasanya dia masih bisa mengejek Annisa lewat chat. Tapi beberapa hari ini Annisa benar-benar lenyap.

Seandainya Annisa memegang ponsel, pasti tidak akan seperti ini kejadiannya. Annisa memang tidak diperbolehkan abinya untuk memegang ponsel sendiri. Abinya benar-benar ingin mengawasi pergaulan Annisa. Annisa pernah bilang bahwa setelah lulus SMA, Annisa akan diperbolehkan membawa ponsel sendiri. Namun, sampai sekarang dia belum mendapatkan nomor ponsel Annisa. Itu artinya Annisa belum membawa ponsel sendiri sampai saat ini.

Radit merasa bosan lalu iseng membuka emailnya. Tanpa diduga, Radit mandapat satu email dari anisa_nisa@yahoo.com. Radit langsung antusias sekali membaca email itu.

From : anisa_nisa@yahoo.com

Radiiiiiiiiiiit.... Radit jelek!

Jelek pasti cariin aku kaaan... Hehe... Akhir-akhir ini aku sibuk nih. Kamu tebak dong aku ngapain, Dit. ;p

Aku mau pindah ke Jakarta, Dit. Akhirnya abi ijinin aku buat kuliah di Jakarta. Aku diterima di UI, dit. Aku seneeeeng bangeeeet... Kita bisa sering-sering ketemu kaya dulu lagi.

See yah, Radit Jelek! ^^

Radit tersenyum lebar, matanya bercahaya, Dia memandangi sekali lagi email dari Annisa, seolah tidak percaya. Wajahnya berbinar. Kini dia bisa bertemu kembali dengan Annisa.

to be continued...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun