Hingga saat ini asal usul aksara Brahmi masih diperdebatkan. Bagi cendikiawan India, aksara Brahmi berasal dari peradaban Indus, sementara cendikiawan Eropa menganggap aksara Brahmi dipengaruhi oleh bangsa Smit (Mesopotamia). Perdebatan ini menarik mengingat aksara Brahmi berpengaruh kepada tradisi penulisan diseluruh dunia. Dan jika dikaitkan dengan angka Brahmi maka telah mengilhami bentuk grafis sistem bilangan di seluruh dunia.
Aksara Brahmi kemudian berkembang diantaranya menjadi Aksara Gupta, Dewanagari, aksara Siddham dalam perluasan ajaran Buddhisme yang mempengaruhi aksara Tibet, China, Korea, aksara Kana (Jepang) serta Palawa yang mempengaruhi aksara Kawi di Nusantara dan akhirnya berkembang menjadi aksara Sunda, Jawa, Bali, Batak (Karo, Simalungun, Toba, Mandailing, Pakpak), Lampung, Lontara (Bugis, Makassar), Rejang (Sumatera bagian selatan dan Bengkulu).
Canakya juga dikenal dengan nama lain Wisnugupta yang berarti seorang perdana menteri, ahli politik, ahli ekonomi, tokoh agamawan (Brahmana) dan sastrawan agung yang menulis Nitisastra.
Niti berarti kebijaksanaan, sedangkan Sastra mempunyai makna ajaran pengetahuan. Nitisastra mengandung ajaran yang luas. Namun secara sempit diartikan sebagai ajaran tentang kebijaksanaan duniawi, etika sosial politik, tuntunan dan juga berarti ilmu pengetahuan tentang negara atau ilmu politik berdasarkan Hinduisme.
Niti Sastra sebenarnya juga banyak berisikan tentang etik, etika, dan mistik. Tidak seperti anggapan kebanyakan orang bahwa Nitisastra hanya sebatas teori kepemimpinan.
Dalam menulis teori kepemimpinan, pemikiran Canakya tentu dilhami oleh Veda serta kitab yang lebih tua pada masanya karena Kitab Ramayana juga menceritakan wejangan Sri Rama kepada Wibisana untuk memimpin Alengka pasca terbunuhnya Rahwana yang dikenal dengan Asta Brata (delapan pegangan atau pedoman).
Dalam Manusmerti IX 303 Asta Brata dijelaskan sebagai berikut:
(1) Indra Brata, laku Dewa Indra yang selalu memberikan hujan dan air yang memungkinkan tumbuh dan hidupnya tumbuh-tumbuhan serta makhluk didunia ini. Bahwa pemimpin itu selalu memikirkan nasib anak buahnya, selalu bekerja untuk mencapai kemakmuran masyarakat secara menyeluruh.
(2) Yama Brata, laku Dewa Yama sebagai dewa keadilan dengan menghukum segala perbuatan jahat, bahwa seorang pemimpin haruslah menegakkan supremasi hukum dan berlaku adil tanpa membeda-bedakan strata sosial.
(3) Surya Brata, laku Dewa Surya/matahari bahwa seorang pemimpin dalam tugasnya harus dapat memberikan penerangan kepada anak buahnya atau bawahannya serta memberikan kekuatan kepadanya. Matahari tak pernah berhenti memancarkan sinarnya ke segala pelosok dunia dan menerangi seluruh alam semesta ini tanpa pandang tempat, rendah dan tinggi sehingga Pemimpin harus selalu memotivasi bawahannya tanpa lelah.
(4) Candra Brata, laku Dewa Candra/bulan bahwa seorang pemimpin harus mampu memberikan penerangan yang sejuk dan nyaman seperti halnya bulan yang menyinari kegelapan.