"Kamu gak penasaran?"
Theia mendengus, menarik kursi kantin lalu mendudukinya, diikuti oleh Selly yang masih berkicau bak burung yang tengah bersuka cita.
"Eh, The, tuh orangnya." Selly mendongak paksa wajah Theia untuk memperlihatkan seseorang yang tengah berjalan santai menuju meja kosong di seberang meja mereka. Sementara di belakangnya bergerombol para gadis yang sepertinya telah mengikutinya entah sejak kapan. Gadis-gadis dengan mata nyalang yang siap menerkam. Â Namun sekece badai topan tornado sekalipun wajah pemuda itu, Theia tak peduli, ia kibaskan lengan Selly, lalu mulai membuka sketch book-nya perlahan.
***
Theia mengayuh sepeda gunung nya sekuat tenaga, sebentar lagi pintu ruang kuliahnya pasti akan ditutup rapat rapat oleh pak Shadi. Namun belum sampai tujuan, ada seseorang yang melintas secara tiba-tiba di depannya dan membuat gadis yang wajahnya terlindung jaket bercapucon itu terjungkal.
"Maafkan aku, aku gak liat kanan kiri, kamu gak papa?" Seorang pemuda berjongkok di depannya dengan wajah khawatir.
Sekejap Theia terpana dengan sosok dihadapannya itu namun sejurus kemudian ia menggeleng, lututnya terasa perih. Celana jeansnya kotor dan sedikit terkoyak.
"Lutut kamu sepertinya luka. Harus segera di obati. Ayo aku antar kamu ke ruang pelayanan kesehatan." Pemuda itu menyapukan pandangan ke seluruh penjuru mata angin.
"Hmm, tapi aku belum tau tempatnya. Aku masih baru di sini."
"Aku gak papa." Theia berdiri menuntun sepedanya dan pergi tergesa sambil menahan perih di lututnya.
"Hei, sekali lagi maafkan aku ya. Namaku Lykan." Pemuda itu berteriak di belakang Theia, namun tak digubrisnya karena dua menit lagi pak Shadi akan segera menutup pintu ruangan kuliahnya.