Seketika Theia menundukan kepalanya berusaha menghindar dari tangan lelaki yang kini berhasil mendongakkan kepalanya lagi dan menggoreskan pisau belati bermata tajam itu di pipi Theia.
Ia meronta, namun selarik goresan mengeluarkan darah segar terlukis di pipinya.
Bagaimana pun empat lelaki pasti lebih kuat dari seorang gadis berperawakan ramping seperti dirinya. Dalam usahanya berjuang untuk melepaskan diri, Theia terkejut dengan kedatangan sesosok mahluk yang tiba tiba hadir diantara mereka. Mata kuningnya menyala. Mahluk itu menggeram, menyeringai, memperlihatkan taringnya yang runcing. Theia terkejut namun dengan cepat ia dapat menguasai diri. Sementara itu keempat lelaki itu kini mulai mundur teratur. Namun alih alih pergi, salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah katana yang menggantung di punggungnya, lalu mengibas-ngibaskannya dengan beringas ke arah mahluk itu.
Mahluk bermata kuning itu tak gentar sedikit pun demi melihat sebilah katana yang berkilat di bawah cahaya purnama. Theia tahu ia harus segera pergi dari sana sementara empat orang itu sibuk, namun ada rasa khawatir yang tiba-tiba muncul dalam hatinya demi melihat mahluk bertaring itu diantara gempuran tanpa jeda. Rupanya salah seorang dari lelaki itu sadar bahwa Theia masih mematung disana, dengan sorot mata penuh kengerian ia berjalan menghampirinya. Tapi sebelum lelaki itu berhasil menangkapnya, dengan sekuat tenaga Theia melesat diatas dua kakinya meninggalkan sepedanya tanpa ingin menoleh ke belakang.
***
Hamparan selimut tebal dan secangkir teh chamomile sama sekali tidak dapat menenangkan perasaannya barang sedikit pun. Theia masih memikirkan semua kejadian yang ia alami hari ini. Ia membelai wajah ibunya yang tengah tersenyum di balik bingkai foto berkaca.
"Mengapa engkau harus bersembunyi dariku, aku sangat merindukan mu, Bu."
Sebuah lolongan panjang membuat Theia bangkit menghampiri jendela kamarnya dan membukanya lebar-lebar. Matanya menyapu seluruh bagian pekarangan belakang yang berbatasan dengan hutan pinus. Ia mencari-cari namun tak kunjung menemukannya. Setelah satu jam terpaku di ambang jendela, ia pun kembali ke ranjangnya lalu terlelap karena lelah.
***
Pagi menjelang, Theia merasakan nyeri di seluruh persendian tubuhnya. Ia bangkit dari ranjangnya, membuka jendela kamarnya segera. Mentari pagi bersembunyi di balik jajaran pohon pinus yang rapat, sinarnya belum mampu mengusir hamparan kabut yang menyelimuti pepohonan. Matanya menatap sesuatu yang janggal di bawah sana. Dengan tergesa ia menuruni tangga. Perasaannya campur aduk tak menentu. Sepuluh tahun sudah ia tak berhenti untuk berharap akan kembalinya seseorang yang ia sayangi. Namun semua harapannya pupus sudah ketika ia dan sosok yang meringkuk diantara semak-semak dengan luka lebar di lengannya itu saling menatap.
“Maafkan aku … aku tidak seperti yang kamu pikirkan … aku tidak memata-matai kamu. Aku …”