"Ya, beda lah Put. Warga disana kan nurut-nurut gak bikin pusing seperti warga disini." Tante Emi meletakkan secangkir teh hangat di hadapanku.
"Oh, ya? Masa sih tante?" aku bertanya dengan wajah serius.
Om Ardi dan Tante Emi hanya tersenyum, saling tatap, lalu tergelak. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku mengerutkan keningku, mereka ini sepertinya diambang kegilaan, pikirku. Tidak menjawab malah tertawa terpingkal-pingkal.
***
Aku menutup hidungku cepat ketika aroma tak sedap menguar dan dengan gegap gempita memenuhi paru-paruku.
"Maaf ya Put, tante ajak jalan sini, ini jalan pintas. By the way, sudah pergi kok aroma wewangian ala Tomtom Hilfingernya." Tante Emi berkata dengan bumbu satir lalu tertawa termihik-mihik.
"Ya ampun tante, itu tadi bau tujuh rupa asalnya dari mana?" Aku berbisik lirih di telinganya.
"Dari istal dan kandang ayam." Tante Emi balik berbisik sambil menyeret ku untuk berjalan lebih cepat.
"Istal? Rumah kuda eh kandang kuda?"
"He-eh."