“Nah, kamu tahu sendiri kan bagaimana keadaan sebagian warga disini.”
Aku mengangguk.
"Ngomong-ngomong, kok bisa ada istal di antara rumah yang berhimpitan gitu sih Tan, kan gak sehat." Mendadak aku kembali penasaran dengan hal yang satu itu.
"Ya gimana lagi Put, susah disadarkan. Sudah tertutup pikirannya, lha wong bicara aja gak pakai mulut tapi pakai golok."
"Hah?"
"Iya, mereka itu penduduk lama, turun temurun tinggal disini. Jadi merasa memiliki kampung dan berprilaku semaunya sendiri."
"Salah satu Klan yang membuat uban Om kamu berkembang biak secara membabi buta."
"Oh ya?"
"Iya, kandang kudanya itu jarang dibersihkan, terkadang kudanya buang kotoran di got. Ayam-ayamnya pun demikian, kandang nya tidak dialasi, jadi kotorannya langsung terjun bebas ke got. Kebayang kan kalo hujan besar dan air gotnya meluap karena jarang mereka bersihkan?”
Aku bergidik membayangkannya. "Gak ditegur oleh om?"
"Sudah Put, gak mempan. Dia orang malah petantang petenteng bawa golok. Suatu hari Tante gak terima dong Om kamu di suguhi golok. Terpaksa deh tante bawa pacul sama arit. Memangnya tante takut? Orang kayak gitu tu gak mempan sama bahasa lemah lembut ala Om kamu itu."