"Aku tidak meminta mu untuk lari dari masalah. Namun untuk saat ini pergi adalah jalan terbaik. Nara tidak ada di sini, aku tidak bisa melindungi kamu setiap saat. Minimal dengan pergi ke tempat yang jauh dari sini untuk beberapa saat sampai Nara kembali dapat memulihkan semua ketidaknyamanan ini." lanjut Meyda panjang lebar.
Dan disinilah ia sekarang, berteman pemadangan indah pegunungan dengan suara air pancuran yang bergemericik merdu. Tanpa dering telpon, internet yang lambat, janji dengan klien, jadwal yang padat, hiruk-pikuk kedai kopi, dan yang pasti tanpa Nara.
Ah, Nara, pria yang selalu di panggilnya dengan kakak itu adalah hal terindah dalam hidupnya. Namun keindahan itu rupanya harus dibayar dengan mahal.
***
Rhe gamang, apa yang harus ia lakukan? Meninggalkan Nara tanpa pesan. Ataukah ia harus menemuinya untuk terakhir kali?
Rhe menggeleng. Tidak, ia tidak bisa menemui Nara hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia tak akan sanggup menghadapi tatapan pria yang telah menjadi kekasihnya selama satu tahun terakhir itu.Â
Rhe tahu Nara. Ia pasti akan meyakinkannya untuk berjuang menghadapi semuanya. Rhe tidak bisa, ia terlalu lelah. Pengalaman masa lalunya telah membuktikan, bahwa restu orang tua adalah segalanya. Walau terasa sakit, ia harus menetapkan hati bahwa keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik baginya dan bagi Nara.
Waktu berjalan lambat di tempat yang indah ini. Rhe melirik novelnya yang tergeletak di atas meja bertaplak kain batik. Tiba-tiba ia teringat kepada mbak Dian. Ia belum mengucapkan terimakasih kepadanya atas semua yang telah wanita itu lakukan untuknya. Rhe menyalakan ponsel pemberian Meyda. Ditekan nya nomor telepon dimana mbak Dian berkantor.
"Rhe? Kamu dimana sayang? Aku mencari kamu kemana-mana. Kata pak Meyda, kamu sedang titirah ke negeri antah-berantah, benar begitu?"
"Gak antah-berantah juga kali mbak. Sedang cari inspirasi." Rhe tertawa walau dalam hatinya getir.
"Oh iya, kebetulan sekali kamu telpon, memang jodoh ya kita. Besok ke Kantor ya, ada yang harus kamu tanda tangani dan kita bicarakan. Penting, gak ada tapi ya."