Â
Mitha menghampiri pemuda yang kini tersenyum lebar ke arahnya.
Â
"Hai, Mitha. Akhir nya aku bisa bertemu dengan kamu secara langsung."
"Darimana kamu ta ... " Mitha mundur selangkah, ada Rasa curiga yang muncul tiba tiba.
"Tahu? Jelas dong, semua penghuni komplek ini semua tahu kamu."
"Aku Andra, Rumah ku ada di ujung jalan sana." Andra mengulurkan tangannya yang disambut dengan ragu ragu oleh Mitha.
"Ini buat kamu." Andra menyerahkan lukisan yang baru selesai ia buat.
"Untuk ku? Serius?" Mitha tersenyum gembira, rasa ragu nya hilang seketika.
"Serius." pemuda itu mengangguk. Kini tangan nya sibuk meletak kan kain kanvas ber spanram di easel nya.
Mitha masih berdiri  mematung di sana, memandangi kanvas yang kosong itu. Ia teringat bahwa ia masih menyimpan satu buah lukisan hasil karyanya. Satu satunya lukisan yang tersisa dari banyak lukisan yang ia buat. Mamanya telah memusnahkan semua lukisannya seiring dengan kepergian Papa dari rumah. Mitha sangat menyukai seni lukis,  darah seni yang kental dari Papa nya mengalir di nadinya. Mitha tahan berjam jam duduk di hadapan kanvasnya untuk menyelesaikan sebuah lukisan. Baginya melukis adalah jiwa nya. Tapi kini semuanya  kandas.  Kebencian Mama terhadap segala sesuatu yang di lakukan Papa memaksa Mitha berjanji untuk berhenti menyelami  hobi nya.