Mitha memandang keluar dari jendela kamarnya yang terbuka lebar. Semburat sinar mentari menyapa wajah letih nya. Kicau burung bersahutan diantara dahan pohon akasia seakan ingin menghibur hatinya yang gundah. Daun daun bergemerisik, menggelitik perasaannya yang sedikit tak menentu.
Di bawah sana, di taman yang menghadap ke rumahnya, terlihat banyak orang tengah beraktivitas. Dua anak kecil bersepeda dengan riang, sementara kedua orang tuanya dengan sabar memperhatikan mereka. Penjaja balon warna warni di kerumuni oleh banyak anak yang berteriak gembira. Sepasang muda mudi tengah asik bercengkrama. Mitha tersenyum, ingin rasanya ia pergi ke bawah sana dan berbaur. Untuk sekedar berjalan jalan, duduk diam di bangku taman, membaca buku atau menggoreskan kuas berlumur cat minyak di sebuah kanvas kosong seperti yang dilakukan oleh seorang pemuda di bawah sana.
Tapi semua itu tidak akan pernah terjadi. Mitha yang ini, kini hanyalah sebuah boneka yang tak bisa melakukan apa yang ia suka.
"Ya ampun Mitha, kamu belum juga bersiap. Lihat, ini sudah jam berapa." Seorang wanita berlipstik merah menghampirinya.
"Mama kan sudah bilang, hari ini kamu ada jadwal audisi, lupa?"
Mitha menggeleng lemah.
"Ayo, cepat. Ini baju kamu. Kamu harus tampil cantik hari ini. Ini adalah audisi yang Mama nantikan, jangan sampai kamu gagal lagi."
"Mam, apakah harus. Aku lelah sekali."
"Lelah? Mama lebih lelah dari kamu. Tapi Mama tidak pernah mengeluh, karena Mama tahu inilah yang terbaik untuk kamu."
Untuk ku? Bukannya untuk Mama?
"Tapi aku lelah ma, lagi pula aku gak suka de..."
"Ah, sudahlah, jangan banyak alasan, Mama gak suka." Wanita bertubuh langsing itu menyapukan kuas blush on ke pipi Mitha yang tirus.
Mitha memandangi wajah yang terpantul di cermin oval nya. Wajah itu bukan miliknya. Ia merindukan wajah polos tanpa polesan seperti anak anak seumurannya. Wajah ini terlalu berat untuk ia sandang, wajah yang menyembunyikan kepahitan di balik ke glamouran nya.
Gadis berkulit putih itu kembali menatap keluar jendela. Pemuda yang tengah melukis tadi kini bersandar santai di kursinya dan berbincang seru dengan temannya yang baru saja tiba.
Mitha sudah lupa, kapan terakhir kali ia mempunyai sahabat. Sahabat yang selalu ada untuknya. Jangankan sahabat, seorang teman pun ia tak punya. Dunianya hanyalah seputar audisi, kontes, serta bergaya di depan kilatan kamera.
Ia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang remaja biasa. Bagi Mitha, hidupnya adalah untuk audisi dan bekerja. Mama nya sangat berambisi untuk menjadikannya seorang bintang. Bintang yang tak pernah dapat digapainya ketika ia muda.
Mitha kerap merasa risi ketika Mama nya mulai membangga banggakan dirinya di depan semua teman sosialita nya. Tapi Mitha hanya bisa diam dan menuruti apa yang Mama nya inginkan, karena Mitha tidak ingin membuat orang yang melahirkannya ke dunia ini kecewa terhadap nya.
***
Minggu pagi ini, Mitha dapat bernafas lega. Ia tidak harus ber make up tebal, menata rambutnya, mengenakan gaun atau memakai high heels yang sangat menyiksa, karena hari ini adalah jadwal Mama nya berbelanja. Hanya ada satu acara yang tertulis di agenda mama nya, tapi itu pun nanti sore.
Mitha duduk di tepian jendela kamar nya, mendekap erat sebuah novel remaja yang belum selesai ia baca. Mitha selalu menyukai suasana minggu pagi di taman itu, dimana banyak anak kecil berlarian gembira. Melihat beberapa orangtua saling berbincang dengan tatapan yang tak lepas dari putra putri nya.
Kini Mitha melayangkan pandangannya ke segala penjuru, matanya sibuk mencari. Tak begitu lama ia menemukannya. Di sana, di sebuah bangku taman, dan tunggu... pemuda itu sedang melihat ke arahnya. Mitha terlonjak kaget, hampir saja ia terjatuh. Pemuda di bawah sana melambaikan tangan kepadanya. Alih alih melambai balik, Mitha malah beranjak dari duduknya. Tapi pemuda di bawah sana terlihat bertingkah aneh, yang membuat Mitha sedikit keheranan. Lalu dengan bahasa isyarat, pemuda itu meminta Mitha untuk duduk kembali di ambang jendelanya. Pemuda itu tengah melukisnya.
Telah banyak sesi pemotretan yang Mitha lalui, tapi rasanya tidak seperti ini. Ia merasa sedikit kikuk.
Waktu pun berlalu, kini pemuda itu memperlihatkan kanvasnya yang telah di penuhi goresan cat minyak kepada Mitha. Ia memberi tanda kepada Mitha untuk melihat lukisan itu secara langsung. Mitha gamang. Mamanya memang tak ada di rumah, tapi ada Bik Inah yang bertugas mengawasinya. Pemuda itu masih saja melambai lambaikan kanvasnya dengan gembira lalu merapatkan dua tangannya di dadanya sebagai tanda permohonan. Rasa penasaran yang di balut dengan kegigihan dari pemuda itu, akhirnya membuat Mitha menyerah.
***
Mitha keluar kamarnya segera, melongokan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Bik Inah terlihat tengah sibuk di dapur.
"Aman." bisiknya kepada diri sendiri.
Di putarnya gagang pintu dengan pelan, Ia keluar rumah dengan berjingkat jingkat.
Sinar mentari pagi yang hangat menerpa wajahnya, hawa pagi ini begitu bersahabat dengan kulitnya. Mitha jarang sekali merasakan sensasi udara pagi seperti ini, karena dunianya hanya seputar rumah, kendaraan dan gedung gedung tinggi.
Mitha menghampiri pemuda yang kini tersenyum lebar ke arahnya.
"Hai, Mitha. Akhir nya aku bisa bertemu dengan kamu secara langsung."
"Darimana kamu ta ... " Mitha mundur selangkah, ada Rasa curiga yang muncul tiba tiba.
"Tahu? Jelas dong, semua penghuni komplek ini semua tahu kamu."
"Aku Andra, Rumah ku ada di ujung jalan sana." Andra mengulurkan tangannya yang disambut dengan ragu ragu oleh Mitha.
"Ini buat kamu." Andra menyerahkan lukisan yang baru selesai ia buat.
"Untuk ku? Serius?" Mitha tersenyum gembira, rasa ragu nya hilang seketika.
"Serius." pemuda itu mengangguk. Kini tangan nya sibuk meletak kan kain kanvas ber spanram di easel nya.
Mitha masih berdiri mematung di sana, memandangi kanvas yang kosong itu. Ia teringat bahwa ia masih menyimpan satu buah lukisan hasil karyanya. Satu satunya lukisan yang tersisa dari banyak lukisan yang ia buat. Mamanya telah memusnahkan semua lukisannya seiring dengan kepergian Papa dari rumah. Mitha sangat menyukai seni lukis, darah seni yang kental dari Papa nya mengalir di nadinya. Mitha tahan berjam jam duduk di hadapan kanvasnya untuk menyelesaikan sebuah lukisan. Baginya melukis adalah jiwa nya. Tapi kini semuanya kandas. Kebencian Mama terhadap segala sesuatu yang di lakukan Papa memaksa Mitha berjanji untuk berhenti menyelami hobi nya.
"Mau coba?" Andra membuyarkan lamunannya ketika tiba tiba pemuda itu menyodorkan kuas berbulu krem ke hadapannya.
Mitha menggigit bibir nya. Ia menatap kanvas kosong itu lalu berganti dengan menatap wajah Andra.
"Duduk," Andra bergeser, memberi ruang kepada Mitha.
"Aku melihatnya."
Mitha mengerutkan dahinya, “Apa?”
“Passion kamu. Melukis.”
Mitha menatap Andra tak percaya, lalu mendaratkan tubuhnya di samping pemuda itu.
"Apa yang ingin kamu lukiskan?" Andra menatap gadis berambut panjang itu.
"Harapan." Jawab Mitha pendek.
"Hmm, asa.” Andra mengulurkan palet nya.
Pagi itu, di antara kicau burung yang bernyanyi merdu, Mitha mulai menyelami dunia nya kembali. Dunia yang telah lama ia tinggalkan.
***
Mitha menatap lukisannya dengan puas.
“Waah, ternyata dugaan ku gak meleset. Lukisan kamu adalah lukisan yang indah dan penuh dengan makna.”
“Ah biasa aja. Lukisan kamu jauh lebih indah dari pada ini.”
“Tentu saja, karena objek nya adalah kamu.” Gurau Andra, yang membuat pipi Mitha merona seketika
“Minggu depan, komunitasku mengadakan event melukis bangunan bersejarah. Ikutan yuk?”
Mitha menggeleng. “Pasti sangat menyenangkan, tapi maaf, aku gak bisa.”
“Kenapa?”
Mitha menggeleng lagi dan tersenyum.
“Mitha…” tiba tiba terdengar sebuah teriakan yang memekak kan telinga memanggil namanya.
Mitha membelalakan matanya.
Itu, Mama. Sejak kapan Mama berdiri di sana.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Wanita itu bertolak pinggang.
“Eh, eu, itu aku mau beli es krim itu, Ma. “ Mitha menunjuk stand es krim yang tak jauh dari tempatnya berada.
“Ya, ampun Mitha. Mama kan sudah bilang, kamu gak boleh jajan sembarangan. Mama sudah menyediakan semua kebutuhan kamu di rumah.”
“Iya, Ma. Maaf.”
“Sekarang, pulang. Kamu harus bersiap siap untuk acara nanti sore.”
Mitha berdiri, kepalanya tertunduk lemas.
“Mith, ini punya kamu.” Andra menyodorkan kanvas yang berisi lukisan Mitha. Mitha menggeleng, ia menggigit bibirnya. Ia merasa sangat cemas.
“Apa itu?” Tiba tiba Mama nya merebut kanvas yang berada di tangan Andra. Wanita beralis indah itu menatap Mitha dengan tajam.
“Ini punya kamu? Kamu melakukan nya lagi?”
Mitha tak kuasa menatap mata Mama nya, kepalanya terkulai lemas memandangi kerikil yang bergerombol di kakinya. Sementara Andra terlihat kebingungan dengan apa yang tengah di lihatnya.
“Kamu mengingkari janji kamu sendiri? Kamu tega sama Mama? Kamu melakukan hal gak berguna ini seperti apa yang Papa kamu lakukan?”
Mitha menggeleng lagi dan lagi. Sementara ada satu dua orang yang mulai terlihat ingin tahu dengan apa yang tengah terjadi.
Tanpa berkata kata, Mamanya melemparkan lukisan itu dengan kasar ke arah saluran air yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. Lukisan cat minyak milik Mitha pun terkulai lemas disana. Mitha berteriak. Satu persatu, bulir air mata membasahi pipinya yang tirus, ia menghampiri lukisan nya yang tergeletak tak berdaya, mengambil nya dengan hati hati.
“Mitha, pulang!” Perintah Mamanya.
Alih alih mengikuti apa yang mamanya perintahkan, Mitha malah sibuk membersihkan lukisannya dengan bantuan Andra yang masih saja terlihat kebingungan.
Melihat apa yang di lakukan Mitha, dengan tak sabar wanita berparas ayu itu menghampiri putrinya, merebut lukisan itu dan lagi lagi mencampakkan nya. Lalu mencengkram lengan putri semata wayangnya dan mulai menyeretnya untuk ikut pulang bersamanya. Namun, Mitha memberontak. Dengan sekuat tenaga ia melepaskan diri dari cengkraman Mamanya, meraih hasil karyanya lalu berlari sekencang kecangnya tanpa arah tujuan yang jelas. Saat itu, Mitha merasa sangat terluka.
Teriakan Andra dan Mama yang mengejarnya di belakang, tidak ia hiraukan. Mitha hanya ingin berlari dan terus berlari. Membebaskan diri dari segala hal yang telah membelenggu nya selama ini. Tapi akhirnya ia harus berhenti berlari, karena sebuah kendaraan yang melaju kencang mendadak melemparkannya ke udara lalu menghempaskannya ke permukaan jalan beraspal yang keras.
***
Wanita bertubuh semampai itu menghapus air mata yang meleleh di pipinya, daerah sekitar matanya yang membengkak tidak mengurangi kecantikan wajah nya . Ia membelai lukisan yang berada di tangannya. Lukisan yang di dalamnya tertera wajah penuh kasih dari seorang ibu yang tengah memeluk anak nya. Wanita itu kembali terisak, ia lupa kapan terakhir kali ia memeluk putri kecil nya.
Maafkan Mama, nak.
***
Catatan :
spanram : bingkai kayu untuk membentang kain kanvas.
easel [caption caption="alter43"] [/caption] : alat penyangga berkaki tiga untuk mendudukkan kanvas.
[caption caption="sumber : alter43"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H