Â
Mitha sudah lupa, kapan terakhir kali ia mempunyai sahabat. Sahabat yang selalu ada untuknya. Jangankan sahabat, seorang teman pun ia tak punya. Dunianya hanyalah seputar audisi, kontes, serta bergaya di depan kilatan kamera.
Ia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang remaja biasa. Bagi Mitha, hidupnya adalah untuk audisi dan bekerja. Â Mama nya sangat berambisi untuk menjadikannya seorang bintang. Bintang yang tak pernah dapat digapainya ketika ia muda.
Â
Mitha kerap merasa risi ketika Mama nya mulai membangga banggakan dirinya di depan semua teman sosialita nya. Â Tapi Mitha hanya bisa diam dan menuruti apa yang Mama nya inginkan, karena Mitha tidak ingin membuat orang yang melahirkannya ke dunia ini kecewa terhadap nya.
Â
***
Minggu pagi ini, Mitha dapat bernafas lega. Ia tidak harus  ber make up tebal, menata rambutnya, mengenakan gaun atau memakai high heels yang sangat menyiksa, karena hari ini adalah jadwal Mama nya berbelanja. Hanya ada satu acara yang tertulis di agenda mama nya, tapi itu pun nanti sore.
Mitha duduk di tepian jendela kamar nya, mendekap erat sebuah novel remaja yang belum selesai ia baca. Mitha selalu menyukai suasana minggu pagi di taman itu, dimana banyak anak kecil berlarian gembira. Melihat beberapa orangtua saling berbincang dengan tatapan yang tak lepas dari putra putri nya.
Kini Mitha melayangkan pandangannya ke segala penjuru, matanya sibuk mencari. Tak begitu lama ia menemukannya. Di sana, di sebuah bangku taman, dan tunggu... Â pemuda itu sedang melihat ke arahnya. Mitha terlonjak kaget, hampir saja ia terjatuh. Â Pemuda di bawah sana melambaikan tangan kepadanya. Alih alih melambai balik, Mitha malah beranjak dari duduknya. Tapi pemuda di bawah sana terlihat bertingkah aneh, yang membuat Mitha sedikit keheranan. Lalu dengan bahasa isyarat, pemuda itu meminta Mitha untuk duduk kembali di ambang jendelanya. Â Pemuda itu tengah melukisnya.
Telah banyak sesi pemotretan yang Mitha lalui, tapi rasanya tidak seperti ini. Ia merasa sedikit kikuk.