Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku pengampunan wahai Tuhanku yang memiliki keagungan.
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.
Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.
Maka jika engkau mengampuni, maka memang Engkaulah yang berhak mengampuni, Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?)"
Rio mengulang-ulang syair itu beberapa kali. Tanpa sadar matanya yang sebelumnya telah menghangat kini semakin sembab. Bulir-bulir air mata berjatuhan menyentuh sarung biru tua yang dipakainya. Sarung titipan dari Lastri.
***
Hari itu Rio meninggalkan kota tersebut. Berjalan menuju selatan. 4 jam Ia mengendarai mobil. Â Tibalah Ia di sebuah kota kecil. Bertanyalah Rio di mana ada desa yang masih sejuk dan berada di bawah kaki gunung. Orang-orang menunjuk ke barat. Desa Kindang.
Ketika pertama kali kakinya menjejak di tanah Kindang, rumah pertama yang dituju adalah kepala dusun. Menceritakan segala tujuannya. Ia ingin mengurus mesjid. Apa saja. Â Membersihkan mesjid, memukul beduk, azan dan kerjaan apa saja yang penting Ia diberi kesempatan mengurus mesjid. Pak Dusun tentu saja gembira, dipanggilnya pak Imam dan tokoh-tokoh masyarakat. Â Mereka sepakat Rio diterima dengan senang hati untuk mengurusi mesjid.
"Namanya siapa pak?" Tanya pak imam
Untuk sesaat Rio tercenung, ia ingat tulisan di diari Lastri. "Jadilah engkau hamba Allah, Abdullah!" Rio mengangkat mukanya.
"Namaku Abdullah....pak." Ucapnya pasti.