Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sarung Lusuh dan Kopiah Usang Doja Badollahi

19 April 2018   15:18 Diperbarui: 21 April 2018   05:53 3680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kolase (belitung.tribunnews.com)

Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku pengampunan wahai Tuhanku yang memiliki keagungan.

Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.

Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.

Maka jika engkau mengampuni, maka memang Engkaulah yang berhak mengampuni, Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?)"

Rio mengulang-ulang syair itu beberapa kali. Tanpa sadar matanya yang sebelumnya telah menghangat kini semakin sembab. Bulir-bulir air mata berjatuhan menyentuh sarung biru tua yang dipakainya. Sarung titipan dari Lastri.

***

Hari itu Rio meninggalkan kota tersebut. Berjalan menuju selatan. 4 jam Ia mengendarai mobil.  Tibalah Ia di sebuah kota kecil. Bertanyalah Rio di mana ada desa yang masih sejuk dan berada di bawah kaki gunung. Orang-orang menunjuk ke barat. Desa Kindang.

Ketika pertama kali kakinya menjejak di tanah Kindang, rumah pertama yang dituju adalah kepala dusun. Menceritakan segala tujuannya. Ia ingin mengurus mesjid. Apa saja.  Membersihkan mesjid, memukul beduk, azan dan kerjaan apa saja yang penting Ia diberi kesempatan mengurus mesjid. Pak Dusun tentu saja gembira, dipanggilnya pak Imam dan tokoh-tokoh masyarakat.  Mereka sepakat Rio diterima dengan senang hati untuk mengurusi mesjid.

"Namanya siapa pak?" Tanya pak imam

Untuk sesaat Rio tercenung, ia ingat tulisan di diari Lastri. "Jadilah engkau hamba Allah, Abdullah!" Rio mengangkat mukanya.

"Namaku Abdullah....pak." Ucapnya pasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun